Menelisik Maksud Puisi ‘Tapi Bukan Kami yang Punya’ Gatot Nurmantyo
Tak ada yang tabu sekiranya seorang pejabat negara berpuisi.
Terlebih jika puisinya bukan sekadar buat hiburan melainkan untuk mengugah
kesadaran berbangsa. Jadi, pembacaan puisi ‘Tapi Bukan Kami yang Punya’ oleh
Panglima TNI Gatot Nurmantyo dalam acara Rapimnas Partai Golkar harus
diapresiasi. Terlebih, puisi itu hanya sekadar puisi, melainkan potret dari
kondisi bangsa kita sesungguhnya.
Lewat puisi itu, Gatot membawa kita pada suatu kesadaran bahwa
sesungguhnya Indonesia belum lagi merdeka. Rakyat Indonesia masih terjajah dari
banyak sisi sehingga apa yang tampaknya adalah “milik” Indonesia sejatinya
bukan milik Indonesia lagi. Sebagai anak bangsa yang memiliki nasionalisme,
tentu puisi Gatot itu ibarat palo godam yang menghentakkan alam bawah sadar
kita untuk kembali bangkit berdaulat.
Pertanyaannya: apakah memang harus begitu? Bagaimanapun Gatot
termasuk pemimpin struktural dalam tata pemerintahan. Sehingga, segala yang
disampaikannya tersebut ibarat membongkar ketidakbecusan pemerintah. Ibaratnya,
menepuk air didulang keciprat kemuka sendiri.
Perlu kita pahami, pemintah sejatinya adalah suatu organisasi
besar yang dibentuk dan dikendalikan untuk pencapaian suatu atau seperangkat
tujuan bersama. Karena kesamaan tujuan tersebut, dituntut kesepahaman antara
pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya. Ibarat atlit sepakbola yang saling
paham kemana harus berlari atau mengumpan bola; demikian pula setiap elemen
dalam internal pemerintah – saling memahami siapa melakukan apa dan apa pula
yang bisa dilakukan elemen lain untuk mendukungnya demi pencapaian tujuan
bersama.
Presiden dan jajarannya, termasuk panglima TNI, adalah sebuah
tim yang harus bergerak secara sadar, terkoordinasi, memiliki batasan
yang teridentifikasi, dan secara berkesinambungan mengupayakan pencapaian
tujuan bersama. Segenap pembantu presiden dituntut memahami kehendak Presiden
Jokowi yang merupakan pemimpin tertinggi. Sebaliknya, bukan hanya sekadar
melantik, memberikan tugas, mengkoordinasikan; Presiden adalah pengampu
tanggung jawab secara keseluruhan. Ibarat satu tubuh, kinerja jajaran pemerintah
merupakan cerminan kinerja Presiden, gambaran kinerja pemerintahan secara
keseluruhan.
Dalam konteks ini, puisi Gatot menjadi sesuatu yang
kontraproduktif dengan konsep organisasi ini. Dengan menelanjangi situasi dan
kondisi faktual, sama halnya Gatot membeberkan ketidakbecusan pemerintah –suatu
organisasi di mana Gatot duduk sebagai salah satu pemimpin strategisnya.
Jika pun puisi itu dimaksudkan sebagai kritikan, seharusnya
Gatot membacakannya di sidang-sidang pemerintah –barangkali diubah dalam
presentasi yang lebih detail. Dalam forum inilah kecemasan Gatot bisa dibahas
bersama dan dicari solusinya tanpa harus membuat masyarakat semakin resah.
Sebagai pemimpin utama di internal TNI seharusnya Gatot sudah memahami konsep
organsiasi ini.
Kecuali, Gatot memiliki maksud lain. Barangkali dia tengah
membangun pencitraan sebagai orang yang paham mengenai situasi dan kondisi
bangsa saat ini, atau boleh jadi menyasar kontruksi sebagai calon pemimpin
bangsa masa depan. Hal ini sudah menjadi rahasia umum menimbang berkian kalinya
Gatot muncul di hadapan publik –dari yang bersifat biasa maupun yang agak
nakal, semacam di ILC, Mata Najwa dan Rapimnas Partai Golkar tempo hari.
Bagaimanapun, publik memahami saat ini Jokowi belum memiliki
cawapres untuk Pilpres 2019. Dan gaya kepemimpinan Jokowi yang cenderung lunak,
santai, dan lambat sudah membuncahkan potensi sosok pendamping yang cepat,
tegas dan disiplin –dan sosok militer tentu bisa menjangkau kebutuhan ini.
Terlepas dari ambisi tersebut, perlu pula digarisbawahi bahwa
manuver Gatot menunjukan ketidakmampuan Jokowi untuk mengatur pasukannya.
Jokowi gagal membangun elemen perbatasan (boundary spanning) bagi para anak
buahnya, sehingga manuver Gatot bisa terulang dan terulang lagi. Padahal kasus
manuver jajaran pemerintah bukan sekali ini. Dua tahu lalu publik dihadapkan
dengan silang-sengketa antar menteri, bahkan menteri dengan wapres, sehingga mencuatkan
istilah kabinet gaduh.
Bagaimanapun, dampak dari manuver lebay yang menabrak elemen
perbatasan yang sumir itu adalah tergerusnya kepercayaan publik. Terlebih jika
langkah jajaran pemerintah nyata-nyata bertolak-belakang dengan keinginan atau
harapan presiden.
Muaranya, mengemuka pertanyaan mendasar: apakah para pembantu
Presiden yang gagal memahami atau menerjemahkan instruksi Jokowi? Atau
sebaliknya; arahan, koordinasi, dan pemantauan Presiden yaang tidak berjalan
efektif? Lantas, jika langkah-langkah para pembantu terdekatnya presiden harus
kerap dikoreksi, siapa pula yang bisa sepenuhnya memahami kehendak Jokowi?
Sudahlah! Jangan lagi bawa-bawa dukungan publik untuk menyelesaikan
gesekan-gesekan ini.
pernah dimuat: politiktoday.com
Post a Comment