Please Paduka Jokowi, Jangan Asal Klaim di Luar Negeri
Sungguh saya terheran-heran saat Jokowi berani sesumbar di depan
bos-bos konglomerat (Chaebol) asal Korea Selatan tempo hari. Jokowi
mengklaim—seperti kebiasannya selama ini—pada era pemerintahannya pembangunan
infrastruktur Indonesia terbesar sepanjang sejarah.
Klaim Jokowi ini jelas tidak benar tersebab ada banyak yang
disembunyikan dalam klaim sepihak itu.
Pertama, pembangunan infrastruktur Indonesia terbesar sepanjang
sejarah sangat debatable, sesuatu yang amat mudah untuk
diperdebatkan. Apa iya pembangunan era Jokowi lebih besar ketimbang era sepuluh
tahun pemerintahan SBY? Apa iya pembangunan era Jokowi lebih dahsyat ketimbang
era pemerintahan 32 tahun Suharto?
Nalar saya kok tidak bisa terima. Ibaratnya ada seorang bocah SD
mendaku di depan kakaknya yang sudah kuliah: saya lebih pintar dari kamu. Atau
siswa SMP yang sesumbar di hadapan kakaknya yang sudah bekerja: saya lebih
berjasa buat keluarga ini ketimbang kamu. Masuk akalkah?
Kedua, satu-satunya kelebihan Jokowi ketimbang pendahulunya—dari
segi infrastruktur tentunya—adalah dia berani berutang. Utang luar negeri kita
paling dahsyat selama era pemerintahan kali ini, terbesar dalam sejarah
Republik Indonesia. Dari duit utang inilah pembangunan era Jokowi ini dibiayai.
Apakah ini sebuah prestasi? Lucu jika demikian klaimnya.
Maksud saya, begini. Tunjuklah seorang bupati di daerah
pinggiran tanah air. Lalu kasih dia utang banyak-banyak agar bisa membangun
infrastruktur di daerahnya. Bisakah dia? Pastilah! Pembangunan infrastruktur
apa yang tidak bisa dilakukan jika uangnya ada? Kasarnya—anak kecil saja tahu!
Tapi perlu kita camkan bersama. Utang bukan pendapatan negara.
Utang adalah duit yang kita pinjam, dan harus dikembalikan oleh anak-cucu kita.
Terlebih, mereka yang berutang pasti berada dalam hegemoni yang pemberi utang.
Makanya, kalau Indonesia berutang kepada AS, Cina atau Jepang, ya siap-siap
saja didikte oleh mereka.
Syukurlah kalau Presidennya disegani di dunia internasional,
sehingga para pemimpin negara-negara itu jadi segan buat main-main. Tapi
bagaimana bila Presidennya kesohor dengan insiden salah data saat presentasi di
dunia internasional, tidak membaca naskah kenegaraan yang ia tandatangani,
wibawa yang rendah plus bahasa Inggris yang pas-pasan? Bukankah kelemahan
seorang pemimpin utama adalah pintu masuk yang efektif untuk memainkan politik hegemoni?
Tidak percaya? Bacalah pernyataan Presiden sepekan ke belakang:
UU penuh titipan dan pesanan sponsor. Titipan apa? Sponsor siapa? Dan yang
terpenting apa yang akan dilakukan Jokowi terkait hal ini?
Ingat yang namanya UU adalah produk legislasi yang dibahas
antara pemerintah dan DPR. Jokowi adalah pemuncak, dia yang menandatangi setiap
RUU yang akan diundangkan. Jika dia merasa itu penuh titipan, penuh pesanan
sponsor kenapa tidak menolak? Kenapa tidak bikin Perppu macam Perppu Ormas itu?
Ketiga, terlalu bodoh sekiranya menilai kesuksesan pemerintah
hanya berbasiskan infrastruktur. Ingat tujuan Republik Indonesia ada empat,
yakni : 1) melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum; 3) Mencerdaskan kehidupan
bangsa; 4) Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Dimensi tata kehidupan negara amat luas: ekopolsosbudhankam,
belum termasuk turunan dari setiap item akronim ini. Makanya, Presiden harus
didukung oleh para menteri yang mumpuni buat mengurusi hal-hal teknis itu.
Apa kemudian mau dibangga-banggakan Kementerian PU yang sudah
bangun ini-itu, sementara kemendikbudnya kedodoran, atau kementerian pertanian
cuma bisa kasih solusi makan keong sawah untuk menanggapi naiknya harga daging?
Begitukah?
Silakan amati baik-baik situasi masyarakat sejak pemerintah
ngotot-ngototan mengejar proyek-proyek mercusuar. Daya beli masyarakat menurun,
sementara harga melangit. Beras mahal, tabung gas 3 kg langka naik dari 20
ribuan ke 39 ribuan. Harga listrik naik berkali-kali lipat, bahkan termahal
dalam sejarah republik ini. Dalam keterpurukan ini masyarakat diinjak untuk
bayar pajak, sementara para konglomerat dapat keistimewaan buat ikut progam
pemotongan pajak.
Inikah yang disebut keadilan? Inikah yang disebut keberhasilan
pemerintah?
Jika kesuksesan pemerintah hanya diukur dari panjang jalan tol,
dari adu banyak gedung yang dibangun—dari duit utang pula–serius kebangetan namanya.
Dan saya pun bertanya: ini pemerintah atau—maaf saja—kuli? Bukankah kuli yang
mengklaim kesuksesannya berbasiskan berapa tinggi bata yang sudah disusun? Berapa
ubin yang sudah dipasang?
Post a Comment