Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

SBY Tak Putus Dirundung Fitnah, Gusti Allah Ora Sare


Sekitar empat tahun silam, Presiden SBY pernah diusik isu kudeta. Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI) menggagas unjukrasa besar-besaran. Targetnya jelas: cabut mandat SBY! Sebelumnya ada pula aksi kurang ajar. Seekor kerbau digeret ke tengah massa. Badan kerbau itu dicat pilox “Si BuYa”, dan di pantatnya dipasang foto SBY berlabel tulisan “Turun!!!”
Lacurnya, SBY hanya menyikapi dengan miris hati. Prihatin. Tetapi, tidak seorang pun pelaku aksi yang diseret ke meja hijau. Pasalnya, kendati prihatin dengan kebebasan yang kebablasan, SBY tidak gegabah. Amarahnya ditetak, sehingga tidak ada pembalasan gelap mata. Celakanya, sikap nrimo SBY ini malah disikapi secara salah kaprah. SBY dituding peragu, penakut, lamban. Kebaikan hati SBY dibalas dengan habis-habisan publik merundung. Sepanjang 10 tahun menjabat, SBY sudah jutaan kali di-bully, mulai hastag, meme, sampai fitnah berita hoax.
Tetapi satu yang pasti; tidak ada seorang pun yang diseret dengan pasal penghinaan terhadap presiden, apalagi hendak berbuat makar. Ini karena SBY memegang teguh prinsipnya : “Teruskan niat baik yang sudah dimulai. Bersyukurlah meski gagal, karena Allah SWT telah tunjukkan yang terbaik. Pantang menyerah.”
Hari ini, kita saksikan fitnah-fitnah masih bergentayangan di sekitar SBY. Dengan menepikan publik yang salah kaprah akibat menelan fitnah, ada dua kalangan yang berkian tahun berupaya membunuh karakter SBY. Pertama, lawan politik SBY. Maknanya, SBY harus dibunuh karena dirinya adalah lawan politik secara an sich. Kalangan ini bertabiat, benar-salah SBY harus dibunuh. Kalau perlu direkayasa agar SBY seolah-olah bersalah.
Ada pula kalangan kedua. Mereka membunuh SBY karena terpaksa; sekadar untuk mengalihkan perhatian publik. Ketika kebijakan-kebijakan dikritisi publik, baik akibat keteledoran atau ketidaktepatan perencanaan, mereka melemparkan bola panas kepada SBY. Mereka mengontruksi wacana bahwa kekurangmangkusan itu semata-mata akibat kesalahan pemerintahan SBY di masa lalu. Ujar-ujarnya barangkali; buruk muka, cermin dibelah.
Tetapi Gusti Allah ora sare –Tuhan tidak tidur. Hukum karma berlaku. Tak ada seorang manusia yang mampu menghalanginya; bahkan seorang raja atau presiden. Becik ketitik olo ketoro; segala kebaikan kendati ditelikung oleh dusta yang gelap, akhirnya bersinar juga. Sebaliknya, seonggok bangkai meskipun disimpan di rak parfum, pasti akan terendus pula kebusukannya.
Hari ini, pelan-pelan, publik lebih jernih mencerna rekam jejak SBY. Kesabaran SBY dibalas klarifikasi oleh semesta. Betapa kebebasan menyatakan pendapat yang diperjuangan SBY, bertolak-belakang dengan situasi hari ini –orang-orang ditangkap dengan dugaan penghinaan terhadap presiden, pasal ujaran kebencian dalam UU ITE, sampai tudingan hendak berbuat makar.
Lambat laun kebenaran tersibak. Persangkaan menjadi inisiator kriminalisasi Antasari Azhar hanya omong-kosong. Pasca Antasari Azhar membunuh karakter SBY pada jam-jam terakhir pemungutan suara Pilkada Jakarta, sampai hari ini kasus pelaporan mantan ketua KPK itu tak tentu rimbanya.
Tidak terbukti stigma SBY sebagai sosok provokator umat Islam demi mememenangkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Pilkada Jakarta. Ketika AHY keluar gelanggang, unjukrasa terhadap Basuki Tjahaya Purnama yang merembet kepada Jokowi tidak mereda.
Perihal korupsi apalagi. Dulu banyak yang menuding dana talangan (bail out) Bank Century adalah kesalahan fatal. Kini Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengurusi dana talangan tersebut, malah diangkat lagi menjadi Menteri Keuangan di kabinet kerja Jokowi. Lalu, politisi PDIP dan aktivis pro demokrasi yang kini berafiliasi dengan PDIP, yang dahulu bertempik kritik akan kebijakan itu, hari ini malah bungkam seribu bahasa.
Perkara Partai Demokrat lebih parah lagi. Berkian lama ada gerakan yang memvonis PD sebagai parpol terkorup. Kendatipun SBY tidak mengintervensi hukum sehingga KPK bisa leluasa melakukan bersih-bersih di PD, yang berujung pada penangkapan Anas Urbaningrum cs, tetap saja SBY yang disalahkan, dianggap gagal mengurus partai.
Belakangan, waktu menjawab fitnah keji ini. Indeks Korupsi Parpol-nya ICW yang memotret periode 2002-2014 menempatkan PDIP sebagai parpol yang paling berpotensi korup. Temuan ini linier dengan data KPK perihal kader parpol yang tersangkut korupsi pada periode 2005-2013, Golkar menempati posisi pemuncak denga 40 kader, dan PDIP di peringkat kedua dengan 27 kader. Data Metro TV pra pileg 2014 mencatat ada 84 kader PDIP yang divonis pidana korupsi, menyusul Golkar dengan 60 kader. Keduanya berada pada peringkat 1 dan 2, sementara PD berada di peringkat keempat.
Pada 2016 lalu, ada 11 kepala daerah yang ditersangkakan KPK. Di mana 4 diantaranya adalah kader PDIP. Mereka adalah Bupati Subang, Ojang Sohandi, Bupati Tanggamus, Bambang Kurniawan, Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman, dan Bupati Klaten Sri Hartini.
Hari ini pula kita sama-sama saksikan dugaan mega korupsi e-KTP. Ketua DPP Partai Golkar Setya Novanto disebut mendapat jatah Rp 574 milyar. Santer Ganjar Pranowo, politikus PDIP dan Gubernur Jawa Tengah, yang digadang-gadang figur jujur-bersih, ribu dan minta tambah jatahnya menjadi USD 500 ribu. Ada pula nama Menhukham Yasona Laoly dan Bendahara PDIP Olly Dondokambey disebut-sebut dalam kasus tersebut. Jadi sebenarnya, manakah parpol yang layak disebut terkorup? Sebenarnya masih banyak lagi fenomena sejenis, tetapi saya pikir ini sudah bisa menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi.
SBY percaya pengalaman memandu kita belajar dari kesalahan masa lalu. Hari ini kita saksikan mulai terbitnya kritisme publik. Publik membanding-bandingkan kondisi hari ini dengan semasa pemerintahan SBY. Berbagai simpul salah kaprah terurai, sehingga menderaskan sindrom rindu SBY.
Lacurnya, arus opini publik yang sejatinya berlangsung alami ini pun disikapi secara kekanak-kanakan oleh elit penguasa. Amati pemberitaan media hari ini. Setiap terbit pemberitaan positif tentang SBY, pada hari itu akan muncul pula serangan-serangan terhadap SBY. Tindakan ini seolah-olah sudah menjadi tradisi lawan-lawan politiknya.
Terakhir, saya meyakini Tuhan mengasihi orang-orang yang bersabar. Seiring waktu segala fitnah-fitnah keji terhadap SBY pasti terbongkar juga. Dan mereka yang dahulu galib melakukannya sebaiknya bersiap-siap. Sementara mereka yang berencana hendak melakukannya, saya sarankan bertobatlah. Karena, Gusti Allah ora sare.
pernah dimuat di politiktoday

Tidak ada komentar