Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Ahoker (Seharusnya) Bijak Menyikapi Vonis Ahok


Dalam sistem hukum Indonesia, tidak ada larangan buat menggugat putusan hukum majelis hakim di pengadilan. Tetapi sebagai negara hukum, tentu gugatan itu tidak boleh membabi-buta. Ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanismenya. Alternatif penyelesaian sudah pula tersedia, yakni banding dan kasasi. Kalau masih belum puas, masih ada upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali (PK).
Masalahnya baru kapiran kalau putusan hukum diperbincangkan bak kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL). Putusan pengadilan jadi komoditas buat menaikan oplah surat kabar atau pengunjung media daring. Putusan pengadilan buat bahan debat kusir di media sosial, sampai penyedap obrolan minum kopi. Lalu segala perbincangan itu dianggap kebenaran mutlak. Gawat jadinya. Putusan pengadilan bisa tercerabut dari ranah hukum menjadi ranah politik yang serba buram dan transaksional itu.
Bahaya akan kian semerbak apabila masalah kapiran ini diletupkan dalam kondisi masyarakat yang sedang terbelah dan saling gesek-menggesek seperti sekarang ini. Semacam kasus penodaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaya Purnama itu. Entah dari mana rumusannya, mendadak seolah-olah bumi dan langit sudah memberi restu –kalau bukan pro Ahok, berarti anda anti Ahok.
Mau pakai dalih apapun, yang namanya agama itu adalah wilayah personal, sangat subjektif.  Agama berada di wilayah keimanan yang diyakini penganutnya. Kalau sudah bicara keimanan, habis perkara.  Sekali terusik, sekali disinggung, sekali merasa dilecehkan; pasti akan muncul balasan yang berlarat-larat. Hampir bisa dipastikan akan disikapi dengan reaksi negatif yang amat emosional. Makanya urusan agama menjadi salah satu aspek yang diatur dalam hukum perundang-undangan di negeri ini.
Dalam kasus Ahok, Gubernur DKI Jakarta non aktif ini dituding telah menodai agama Islam. Gugatan publik bukan kepalang. Unjuk rasa umat Islam besar-besaran tercipta. Sampai lima jilid banyaknya.
Tetapi perlu dicatat sejak Republik Indonesia berdiri, sampai zaman digital begini, seluruh tumpah darah Indonesia sepakat bahwa Indonesia adalah negara hukum. Turunanya, tidak ada seorang pun yang boleh tegak di atas hukum. Setiap orang wajib tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Segala tudingan tidak sah secara hukum selama belum dibuktikan di pengadilan.
Artinya, secara hukum unjuk rasa itu tidak ada sangkut-pautnya dengan vonis hakim. Hukum tegak independen di hadapan kekuasan penekan apapun. Satu-satunya landasan vonis Ahok adalah segala yang dipaparkan dalam sidang pengadilan itu.
Tempo hari, palu hakim sudah mengentak. Majelis hakim menyatakan Ahok terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) khususnya Pasal 156a dan Pasal 156 tentang penodaan agama.  Argumentasi hukum untuk membuktikan tindak pidana penistaan yang dilakukan Ahok terkait unsur-unsur kedua pasal tersebut telah terpenuhi. Majlis hakim secara gamplang sudah mengemukankannya di sidang pengadilan.
Berpijak pada latar belakang ini, seharusnya seluruh warga negara Indonesia bisa menerima putusan itu dengan lapang dada. Kalaupun tidak puas, silakan tempuh tahapan selanjutnya –banding, kasasi hingga PK. Hal ini sudah ditegaskan dan didengung-dengungkan oleh segenap pejabat publik di negeri ini. Dari level presiden, menteri, hingga lembaga peradilan dan kejaksaan.
Sehingga, menggugat putusan hakim melalui debat-debat publik atau aksi unjukrasa bukan sikap warga negara yang baik. Terlebih jika gugatan itu terbit tanpa pemahaman paripurna putusan hakim tersebut.
Patut dipertanyakan kepada para penggugat itu. Apakah mereka sudah benar-benar menelisik secara utuh putusan hakim dengan segala pertimbangannya? Atau sekadar berbekal informasi sepotong-sepotong dari media? Atau barangkali cuma berbekal ajian “kata si anu”?
Perlu dicatat, proses peradilan Ahok sudah berlangsung puluhan kali. Sepanjang persidangan, sudah dibeberkan keterangan pelbagai pihak. Mulai dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), para saksi fakta, saksi ahli, dari para pengacara Ahok dan bahkan dari Ahok sendiri selaku terdakwa.  Prosesnya pun disiarkan secara terbuka. Kesimpulannya, proses persidangan Ahok sudah melalui mekanisme peradilan yang transparan dan akuntabel.
Turunan suatu putusan peradilan tentu kalah-menang. Masalahnya, ketika kubu yang kalah sekonyong-konyong menilai dirinya telah dizalami lalu mengaitkannya dengan urusan hantu blawu yang tidak ada sangkut-pautnya dengan landasan pengambilan keputusan hukum itu sendiri.
Dengan pola pikir ini, mereka yang kalah itu sejatinya bukan hendak mencari keadilan, tetapi mencari pembenaran atas tindakannya. Sehingga ketika palu hakim memutus berbeda, mereka menggugat seperti banjir bandang yang membawa segala hal yang sejatinya tidak berkaitan. Ini lah sikap warga negara yang tidak bijak, yang tidak mau menerima kekalahan secara bijak.
Vonis Ahok ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita bersama. Mereka yang berpekara di pengadilan harus siap menghormati putusan hakim. Sekiranya tidak puas, silakan tempuh mekanisme hukum yang tersedia. Jangan cari-cari alasan biar dicitrakan sedang terzalami hanya karena kalah dalam berperkara di pengadilan. Bagaimanapun, pengadilan itu tempat untuk menemukan keadilan, bukan untuk mendulang kemenangan.

Tidak ada komentar