Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Denny Siregar dan Abu Janda: Badut yang Berperan Bak Orang Bijak?



Orang bijak bisa memainkan peran sebagai seorang badut, tetapi seorang badut tidak bisa berperan sebagai orang bijak—Malcolm X
Ini akhir pekan, jadi agaknya tepat jika saya tidak menulis yang berat-berat. Semacam mengapa ICMI merasa perlu mendukung Jokowi 2 periode, atau apa udang di balik batu sehingga bisa-bisanya Setya Novanto mengirim surat “perlindungan” ke Jokowi. Tidak, kali ini saya ingin membahas sesuatu yang lebih membumi: Ustad Abu Janda.
Saya amati banyak umat Islam yang mengaku intelek, termasuk yang terang-terangan tidak intelek, telah membawa urusan penampilan Abu Janda dan Denny Siregar di ILC tempo hari secara tidak intelek pula. Ada bully habis-habisan dan tak berkesudahan! Saya pikir ini cara yang mubazir.
Alasannya sebagai berikut:
Pertama, Ustad Abu Janda Al Boliwudi tak lebih dari tokoh fiksi Permana Arya. Fiksi dalam artia ia bukan karakter anak manusia sejati. Ia hanya representasi dari pemikiran Permana Arya dalam menyikapi kondisi sekelilingnya.
Tidak percaya? Amati saja barisan nama itu: Ustad Abu Janda Al Boliwudi—kata “ustadz” yang ditulis, Abu Janda yang buat kita mesem-mesem, serta Al Boliwud yang mengikatkan kita akan narsisme ala film-film India.Intinya sosok ini diciptakan buat lucu-lucuan, sebuah parodi. Hati-hati bila kita menyikapi secara serius, bisa kena serangan jantung kita nantinya.
Penilaian saya ini semakin kuat saat menyaksikan ILC tempo hari. Abu Janda tampak seperti alien di sana. Seperti anak sekolahan yang mendadak diundang jadi narasumber bersama para Guru Besar. Maka penampilannya aneh bin ajaib. Seolah-olah merasa terus menerus menjadi sorotan kamera. Bahasa tubuhnya seolah-olah bicara: gue asyik-asyik saja.
Sementara sobat sebarisannya Denny Siregar, tampak pucat dan grogi. Sehingga—saya berprasangka baik—apa yang ingin disampaikannya macet di lidah. Ia memubazirkan durasi televise dengan berputar-putar pada “dari mana uangnya” dan “berapa jumlah peserta”–dua hal yang tak lebih dari masalah kulit air dari reuni 212.
Kedua, sebagai representasi dari Permana Arya, tentu saja sosok ini tidak bisa disandingkan dengan ustadz ”sebenar” ustadz atau politisi “sebenar” politisi. Bagaimanapun intelektual yang dimiliki Ustad Abu Janda Al Boliwudi ya setara dengan Permana Arya. Ini bisa terlihat dari gaya tulisan 3-4 paragraf di Facebook, isu yang ringan, dan agaknya ingin menciptakan kesan dramatis dengan foto-foto ciamik.
Hal senada sejatinya dilakukan oleh Denny Siregar, meskipun tanpa foto sedang diklatsar di dalam lumpur sawah.
Sehingga menyetarakan Ustad Abu Janda Al Boliwudi dan Denny Siregar dengan Fadli Zon, Fahri Hamzah atau Felix Siaw adalah penghinaan bagi keduanya. Ini ibarat mengkiritisi film biografi Sukarno dengan kekonyolan Comic 8.Tidak akan ketemu!
Ketiga, fenomena Ustad Abu Janda Al Boliwudi maupun sobat sebarisannya Denny Siregar semakin menguatkan betapa rendahnya tingkat literasi kita. Alih-alih menggali subtansi lebih dalam melalui penelisikan pelbagai literature yang lebih besar, publik terpesona dengan tulisan ringan dan sederhana. Seolah-olah narasi sepanjang 3-6 paragraf bisa menjawab kegamangan mereka atas apa yang terjadi. Ajaib sekali!
Pangkal balanya adalah budaya malas membaca. Budaya ini yang kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang semacam Permana Arya dan Denny Siregar untuk kepentingan politik mereka sendiri. Dan orang-orang pemalas itu pun terpikat dan terbius. Mereka akhirnya menjadikan narasi picisan itu sebagai jawaban, kendati itu tak lebih dari satu jawaban yang setipis kulit bawang.
Tapi Permana Arya dan Denny Siregar belum seberapa. Yang patut kita hujat adalah orang-orang pintar yang dengan sengaja mendukung gerak-gerik Permana Arya dan Denny Siregar. Para intelektual yang sudah paham bahwa masalah rumit ini tidak bisa selesai hanya dengan jawaban “ngopi dulu, sana!”, tetapi malah turut menyebarluaskan virus simplifikasi ini.
Permana Arya dan Denny Siregar tidak akan berhenti, karena mereka hadir sebagai tokoh parodi untuk mengusik ruang kosong kemalasan publik. Jadi bagaimana cara terbaik menghadapi Permana Arya dan Denny Siregar ke depannnya? Menurut saya, acuhan saja! Acuhkan dengan catatan mereka yang menyebarkan gagasan remeh kedua orang ini kita beri pencerahan: seorang badut tidak akan bisa memerankan seorang bijak.


Tidak ada komentar