Untuk Pemerintah: Sembunyikan Tagar #sayapancasila, Mulailah Bekerja Nyata!
“Adakah warga negara Indonesia yang tidak menerima
bahwa dirinya seorang pancasilais?”
Belakangan ini di media sosial sedang ramai tagar
#pekanpancasila. Lalu slogan ‘Saya Indonesia-Saya Pancasialis!’ menyerak di
banyak akun jejaring sosial. Tapi maaf saja kalau saya lantas memandang slogan
dan tagar ini sekadar kemubaziran.
Dalam benak saya slogan ‘Saya Indonesia-Saya Pancasialis!’
adalah sesuatu yang given –yang tak bisa diutak-atik lagi. Cobalah tanya diri
kita masing-masing. Adakah warga negara Indonesia yang tidak menerima bahwa
dirinya seorang pancasilais? Adakah seorang warga negara Indonesia, dalam
kondisi seluluh-lantak apapun negeri ini yang lantas menolak kebangsaannya?
Nalar saya mengatakan kalau ini adalah sesuatu yang mustahil.
Walhasil, bagi saya slogan ‘Saya Indonesia-Saya Pancasialis!’
tak lebih seperti hitung-hitungan matematis, semacam 7×0=0. Titik! Mau pakai
slogan dan tagar apapun, ya tujuh kali nol sama dengan nol. Jadi mengapa harus
dijadikan instrument buat menepuk dada? Mirisnya, slogan ini muncul dari
pemerintah, dari Prsiden Jokowi yang notabene adalah orang nomor satu di negeri
ini.
Saya pikir, sejak berkeping-kepingnya pemerintahan orde baru,
bangsa kita sudah belajar untuk meninggalkan slogan-slogan murahan. Segala
slogan -semacam: menjalin kesatuan dan kesatuan, demi ketertiban umum,
partisipasi aktif terhadap pembangunan, dan lain-lain- sudah kita tinggalkan
belasan tahun lalu.
Karena slogan-slogan galib menjadi penjara bagi pemikiran yang
berbeda dengan kekuasaan. Dengan slogan, politik pencitraan sedang dimainkan
–bahwa negeri sedang hamil tua dan menuntut pastisipasi aktif warga negaranya –
yang ironisnya, tanpa menyebut perkara hak sebagai warga negara.
Bukankah di era reformasi ini kita sudah mengejar subtansi? Kita
tidak peduli dengan slogan “anak Indonesia harus sekolah”, dan mempertanyakan
sudah sejauh mana kinerja pemerintah dalam pemerataan akses pendidikan? Kita
muak dengan slogan “kemiskinan harus diberantas”, dan menuntut kinerja
pemerintah dalam melepaskan segenap tumpah darah Indonesia dari belenggu
kemiskinan.
Silakan melantangkan ‘perekonomian yang stabil’ di sidang
kabinet, tetapi yang rakyat butuhkan adalah harga-harga tidak melambung seiring
dengan masuknya bulan ramadhan—yang artinya sudah sejauh apa keberhasilan
pemerintah memberantas kartel sembako?
Belakangan ini di media sosial sedang ramai tagar
#pekanpancasila. Lalu slogan ‘Saya Indonesia-Saya Pancasialis!’ menyerak di
banyak akun jejaring sosial. Tapi maaf saja kalau saya lantas memandang slogan
dan tagar ini sekadar kemubaziran.
Dalam benak saya slogan ‘Saya Indonesia-Saya Pancasialis!’
adalah sesuatu yang given –yang tak bisa diutak-atik lagi. Cobalah tanya diri
kita masing-masing. Adakah warga negara Indonesia yang tidak menerima bahwa
dirinya seorang pancasilais? Adakah seorang warga negara Indonesia, dalam
kondisi seluluh-lantak apapun negeri ini yang lantas menolak kebangsaannya?
Nalar saya mengatakan kalau ini adalah sesuatu yang mustahil.
Walhasil, bagi saya slogan ‘Saya Indonesia-Saya Pancasialis!’
tak lebih seperti hitung-hitungan matematis, semacam 7×0=0. Titik! Mau pakai
slogan dan tagar apapun, ya tujuh kali nol sama dengan nol. Jadi mengapa harus
dijadikan instrument buat menepuk dada? Mirisnya, slogan ini muncul dari
pemerintah, dari Prsiden Jokowi yang notabene adalah orang nomor satu di negeri
ini.
Saya pikir, sejak berkeping-kepingnya pemerintahan orde baru,
bangsa kita sudah belajar untuk meninggalkan slogan-slogan murahan. Segala
slogan -semacam: menjalin kesatuan dan kesatuan, demi ketertiban umum,
partisipasi aktif terhadap pembangunan, dan lain-lain- sudah kita tinggalkan
belasan tahun lalu.
Karena slogan-slogan galib menjadi penjara bagi pemikiran yang
berbeda dengan kekuasaan. Dengan slogan, politik pencitraan sedang dimainkan
–bahwa negeri sedang hamil tua dan menuntut pastisipasi aktif warga negaranya –
yang ironisnya, tanpa menyebut perkara hak sebagai warga negara.
Bukankah di era reformasi ini kita sudah mengejar subtansi? Kita
tidak peduli dengan slogan “anak Indonesia harus sekolah”, dan mempertanyakan
sudah sejauh mana kinerja pemerintah dalam pemerataan akses pendidikan? Kita
muak dengan slogan “kemiskinan harus diberantas”, dan menuntut kinerja
pemerintah dalam melepaskan segenap tumpah darah Indonesia dari belenggu
kemiskinan.
Silakan melantangkan ‘perekonomian yang stabil’ di sidang
kabinet, tetapi yang rakyat butuhkan adalah harga-harga tidak melambung seiring
dengan masuknya bulan ramadhan—yang artinya sudah sejauh apa keberhasilan
pemerintah memberantas kartel sembako?
Lucunya, pada hari lahir Pancasila yang sakral ini, kembali
slogan-slogan itu diketengahkan ke hadapan publik. Dan publik kebingungan atas
keresahan hidup yang kian membumbung –latah menelannya sebagai kebenaran
–seolah-olah dengan memasang slogan ini, bangsa kita bisa lolos dari ancaman
pergesekan sosial yang kian menjadi-jadi belakangan ini.
Tragisnya, slogan-slogan itu pada akhirnya tidak membawa mereka
sebagai pembela pancasila yang lebih baik dari mereka yang tidak melantangkan
slogan-slogan tersebut. Justru mereka yang terbius, terkesan menjadi “mualaf”
Pancasila.
Kenapa saya menggunakan kosa-kata mualaf Pancasila? Karena hanya
seorang mualaf yang berada di level beribadah dengan lisannya, yang
kesalahan-kesalahannya masih bisa dimaklumi. Cermatilah baik-baik! Apakah
dengan melantangkan‘Saya Indonesia-Saya Pancasialis!’ lantas kelicikan dalam melakukan
transaksi proyek, membuat anggaran, menghitung gaji karyawan, hasil 4X4 adalah
sesuai kepentingan pribadi dan kelompok atau bergantung saran atasan—lantas
bisa dimaklumi sebagai kesalahan masa silam?
Menurut saya, ketimbang slogan lebih baik bila subtansi
pancasila yang kita tancapkan dalam ruang kesadaran. Lalu ekspresikan dalam
tindakan nyata –ini berlaku untuk setiap warga negara Indonesia. Subtansi
pancasila harus diolah menjadi produk sosial, budaya, politik, pendidikan,
ekonomi yang mengamankan, menyelamatkan dan menyejahterakan negeri ini.
Bukankah ini yang tertuang dalam pembukaan konstitusi kita: Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur?
Dan untuk mencapai ini semua dibutuhkan kerja nyata segenap
elemen bangsa, bukan sekadar slogan! Jadi tak perlullah pemerintah sampai latah
begitu. Biar urusan ‘Saya Indonesia-Saya Pancasialis!’ menjadi urusan setiap
warga negara, yang tidak perlu pula diadu-adu bobot kebenarannya. Urusan
pemerintah adalah kerja…kerja…kerja untuk merealisasikan empat tujuan negara
yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Sebagai penutup, ada baiknya mereka yang menginisiasi gerakan
slogan ini untuk mendengarkan lagu Manusia Setengah Dewa-nya Iwan Fals yang
menasihati agar masalah moral dan akhlak, biar masyarakat sendiri yang
menyelesaikannya. Urusan pemerintah adalah:
Urus saja moralmu/ urus saja akhlakmu/ Peraturan yang sehat yang kami mau
Turunkan harga secepatnya/Berikan kami pekerjaan/
Tegakkan hukum setegak-tegaknya/Adil dan tegas tak pandang bulu
Urus saja moralmu/ urus saja akhlakmu/ Peraturan yang sehat yang kami mau
Turunkan harga secepatnya/Berikan kami pekerjaan/
Tegakkan hukum setegak-tegaknya/Adil dan tegas tak pandang bulu
Post a Comment