Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Raja Salman ke DPR, Siapa Mantan Presiden yang Belum Move On?

Ketidakhadiran Presiden ke-5 RI Megawati dalam lawatan Raja Salman ke DPR membuat publik bertanya-tanya. Padahal, sejak jauh-jauh hari pimpinan DPR menyebut para mantan presiden dan wakil presiden mendapat undangan kehormatan atas lawatan bersejarah kepala negara Arab Saudi itu.
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hadir bersama ‎mantan Wapres RI Try Sutrisno. Mereka satu rombongan dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Tetapi yang ditunggu-tunggu adalah pertemuan Megawati dan SBY. Karenanya saya sempat optimis dengan masa depan budaya politik di Indonesia ketika santer konfirmasi kehadiran mereka. Sayangnya, lagi-lagi saya kecele. Ketua Umum PDIP itu mendadak batal hadir.
Sudah rahasia umum komunikasi SBY dan Megawati relatif buruk. Sejak SBY memutuskan maju dalam Pilpres 2004, ketidakharmonisan ini sudah semerbak. Total jenderal, nyaris 13 tahun laku negatif ini memperkeruh budaya politik di negeri kita.
Secara etika politik, tindakan Megawati mengecewakan. Bagaimanapun, semasa Megawati menjabat presiden, Raja Salman telah menjadi kepala negara Arab Saudi. Demikian pula semasa SBY memerintah. Sebagai negara umat Islam terbesar, segenap pemimpin puncak Indonesia memiliki kepentingan akan hubungan harmonis dengan pemimpin tanah tempat berhaji itu.
Ada rumor Megawati akan bersilaturahmi dengan Raja Salman di Istana Merdeka. Silaturahmi itu akan dilakukan bersama-sama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. Well, sebagai pemimpin puncak parpol penguasa, ini sah-sah saja. Tetapi sebagai seorang mantan presiden, mengabaikan undangan DPR ketika para mantan pemimpin puncak negeri ini berkumpul untuk menyambut sahabat jauh, tentu salah secara etika politik.
Kesimpulan yang membuncah, Megawati enggan bertemu SBY. Ketidakhadiran Megawati di DPR hari ini kian mempertegas. Publik sudah bisa manarik kesimpulan kubu mana yang selama ini merawat ketidakharmonisan antara SBY-Megawati. Kubu mana yang tidak memiliki itikad untuk memberikan pelajaran politik yang baik bagi publik. Kubu mana yang masih baper dan belum move on dari masa lalu.
Komunikasi SBY-Megawati bukan sebatas perkara dua personal an sich. Komunikasi itu terkait dengan urusan kemashlatan yang lebih luas, perihal keharmonisan anak bangsa. Tidak layak seorang negawaran terbawa perasaan like and dislike kepada negarawan lainnya. Terlebih, pendukung mereka, PDIP dan Partai Demokrat ada parpol papan atas dengan jumlah kader jutaan orang.
Ketidakhadiran Megawati di DPR mengingatkan saya pada pernyataan mendiang Taufik Kiemas kepada SBY dalam buku Selalu Ada Pilihan.
“Saya kira tidak baik kalau Bu Mega dan Pak SBY tidak bisa berkomunikasi untuk kepentingan bangsa. Juga tidak baik kalau kita mewariskan jarak ini kepada anak-anak kita, dan juga kepada pendukung-pendukung kita.”
Tanggapan SBY atas pandangan Taufik amat terang dan tegas; selalu siap sedia. Dan hari ini, dengan fakta kemungkinan besar Megawati akan hadir, SBY tetap memenuhi undangan DPR. Hal ini mengonfirmasi 100% kesiapan SBY untuk menjalin tali silaturahmi atau saling bertukar pikiran dengan Megawati terkait kemashalatan bangsa dan negara.
Komunikasi adalah pilar utama dunia politik. Bagaimana gerak politik nasional harmonis dan sinergis bila pemimpin papan atasnya malah membentengi diri akibat ego pribadi? Padahal, ada kepentingan yang lebih besar dari dirinya, dari parpolnya. Sejak dahulu, SBY telah move on. Bagaimana dengan Megawati?
pernah di muat di politiktoday.com

Tidak ada komentar