Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Jokowi Sebut Banyak UU Titipan Sponsor; Buruk Muka, Cermin Dibelah?


Aduh! Kata seru ini—aduh!—langsung muncul di benak saya membaca pernyataan Jokowi perihal UU “titipan sponsor”. Terlebih hal ini dinyatakan di tengah pertemuan tahunan Bank Indonesia, suatu instituasi yang diharamkan untuk terlibat manuver-manuver politik.
Tragisnya, sindiran ini bukan yang pertama. Sebelumnya Jokowi pernah menyindir DPR soal pembuatan undang-undang saat menghadiri Rembuk Nasional 2017, akhir Oktober lalu.
Melalui sindiran ini, saya membaca Jokowi hendak lepas tangan. Jokowi hendak bicara bahwa UU yang berdampak buruk itu adalah hasil dari “permainan proyek” di DPR. Akibatnya, rakyat menderita. Pemerintah sulit bekerja untuk mensejahterakan rakyat karena tersandera oleh UU yang berorientasi kepentingan sponsor tadi.
Tidak sampai nalar saya untuk mencerna maksud Jokowi ini. Apakah Bapak Presiden keseleo lidah? Atau jangan-jangan, Jokowi benar-benar tidak paham proses penyusunan legislasi di gedung DPR? Keterlaluan sebenarnya, mengingat Jokowi sempat menjabat Walikota dan Gubernur di mana proses penyusunan UU dan Perda sejatinya tidak jauh-jauh amat bedanya.
Bahkan mereka yang awam perihal pengetahuan tata negara saya pikir amat paham bagaimana suatu proses  penyusunan UU terjadi di Indonesia. Prosedurnya adalah 2, yaitu inisiatif DPR atau inisiatif pemerintah.
Terlepas dari mana inisiatif ini muncul, langkah selanjutnya adalah pembahasan tingkat 1 DPR, yakni dalam pembicaraan tingkat 1 dalam rapat komisi, rapat badan legislasi, rapat panitia anggaran, atau rapat panitia khusus bersama pemerintah. Setelah lolos pada pembicaraan tingkat 1 barulah masuk pembahasan di tingkat DPR.
Pasca RUU itu disepakati di tingkat DPR. Langkah selanjutnya adalah naskah itu dionggokan di meja Presiden. Bola di tangan pemerintah sekarang, mau setuju atau tidak. Karena tidak setiap RUU yang diketok palu di DPR mesti melenggang mulus menjadi UU yang ditandatangani Presiden. Ada kalanya, Presiden menolak UU tersebut. Ada kalanya, apabila RUU itu dinilai malah membawa kemudharatan bagi rakyat, Presiden akan menolaknya.
Penolakan teranyar pernah dilakukan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY menolak naskah yang sudah diketokpalu DPR, karena RUU tersebut dianggap mencabut hak politik rakyat dengan membiarkan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Sebagai bentuk penolakan SBY maka diterbitkanlah Perppu Pilkada dan Pemerintahan Daerah.
Kesimpulannya: pemerintah, yang dipimpin Jokowi, memiliki saham atas setiap UU yang berlaku di Indonesia selama masa kepemimpinannnya sebagai Presiden. Tanpa terkecuali. Jokowi tidak bisa berkilah bahwa UU tersebut adalah produk DPR semata, karena dalam proses pembentukannya pemerintah senantiasa terlibat. Pemerintah tidak boleh dan tidak bisa lepas tangan.
Tragis bila Jokowi menyebut bahwa UU di Indonesia banyak yang pakai sponsor, banyak titipan, maka itulah produk dari pemerintahan Jokowi dan DPR saat ini. Artinya Jokowi dan DPR sudah gagal membentuk UU yang benar-benar berpihak semata-mata buat rakyat.

Artinya ini salah pemerintahan Jokowi juga, bukan semata-mata salah DPR. Ini adalah kegagalan Jokowi juga. Bukankah ini ibarat buruk muka, cermin dibelah?

Tidak ada komentar