Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Mencegah Fraksi Ter-FahriHamzah-kan di DPR


Fahri Hamzah adalah “keajaiban” dalam dunia politik Indonesia. Baru kali ini ada politikus yang “dipecat” parpol, tetapi masih bercokol sebagai Wakil Ketua DPR. Tidak ada pelanggaran. Hukum positif telah menggugurkan SK pemecatan oleh DPP PKS. Tetapi secara politik, betapa rancunya.
Parpol berfungsi sebagai sarana dalam melakukan seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Agar tindak-lanjutnya terkontrol terhadap para legislator, parpol memiliki kaki tangan dalam wujud fraksi DPR
Dalam kerangka ini, PKS telah merekrut Fahri sebagai anggota DPR dan mengusungnya sebagai Wakil Ketua DPR untuk melaksanakan peranan PKS di pemerintahan. Lucunya, ketika PKS menilai Fahri tidak bisa lagi memanggul marwah parpol; eksekusinya tersendat-sendat.
Fraksi PKS, sebagai kaki tangan PKS di DPR, terkesan sebatas macan ompong di hadapan Fahri. SK DPP PKS pun gagal menjungkal Fahri karena bertubrukan dengan hukum positif –saya tidak ingin masuk ke ranah apakah putusan itu murni demi hukum atau akibat intervensi elit penguasa.
Pemecatan anggota DPR RI dengan alasan politis bukan pertama kali terjadi, tetapi hanya Fahri yang selamat. Dulu Lily Wahid dan Effendy Choirie juga dipecat oleh PKB karena dinilai tidak sejalan dengan kebijakan parpol. Namun, semasuk meja hijau, palu majelis hakim memenangkan PKB.
Sisi positifnya, kegagalan PKS adalah sinyal bahwa parpol tidak boleh serampangan. Bahwa pasal karet “tidak sejalan dengan kebijakan parpol” tidak serta-merta bisa dilegalisasi oleh hukum positif. Ini bisa menjadi momentum pembenahan, khususnya dalam menggerus oligarki di tubuh parpol. Karena hukum menjamin hak setiap warga negara tidak akan dipuntung oleh parpol sekalipun
Sebaliknya, fenomena ini juga pembenaran rapuhnya parpol di depan seorang dua kader penting. Secara subtansi, fenomena Fahri mirip dengan takluknya PDIP di hadapan Jokowi saat memberikannya tiket capres 2014, atau di hadapan Ahok saat hendak maju di Pilkada DKI Jakarta.
Kerugiannya, parpol ibarat bis. Tak soal bis apa yang dipakai, selama tujuannya sama boleh saja digonti-ganti. Jika parpol jatuh menjadi sekadar kendaraan politik, otomatis daya dorongnya dalam sistem pemerintahan bakal tertatih-tatih.
Ambil contoh dalam pembahasan hak angket DPR terhadap KPK tempo hari. Kecuali Hanura dan PDIP, semua fraksi cenderung menolak pengusulan hak angket tersebut. Lacurnya, hanya Fraksi Demokrat dan PKS yang tidak ada anggota DPR-nya yang menandatangi berkas usulan tersebut.
Bahkan Fraksi Gerindra dan PKB yang jelas-jelas menolak, masih juga kecolongan oleh manuver anggotanya. Hal ini menggambarkan daya tawar parpol dan khususnya fraksi DPR secara umum relatif rendah di hadapan anggotanya.
Menurut saya, kasus Fahri ini jangan sampai terulang. Parpol harus mengambil pelajaran. Bagaimanapun, perbedaan antara anggota DPR dan fungsionaris parpol dalam menafsirkan kebijakan parpol sangat mungkin terjadi. Penting untuk bersikap berpandai-pandai.
Jika semuanya disikapi dengan “tangan besi”, akan lahir Fahri-Fahri yang lain. Jika jumlah anggota DPR yang ter-FahriHamzah-kan ini sampai 20 orang, secara defacto mereka bisa membentuk fraksi sendiri. Fraksi Ter-FahriHamzah-kan. Gawat jadinya!

Tidak ada komentar