Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Kabar Hoax Jokowi dan Republik Salah Data


Berdesir hati saya membaca postingan seorang kawan di WA group. Ada opini yang dipublikasikan oleh media Hongkong South China Morning Post (SCMP) yang terbit kemarin, 2 Mei 2017. Judulnya “Sorry President Widodo, GDP Rangkings are economists’ equivalent of fake news”; oleh Jake Van Der Kamp, seorang reporter-kolumnis keuangan berkewarganegaraan Hongkong; yang sudah bergiat sejak 1978.
Tulisan Kamp ini untuk membantah pernyataan Jokowi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah yang Ketiga Tertinggi di Dunia.  Dan dengan provokatif, Kamp meyandingkannya dengan fake news, kabar hoax.
Wajar kalau saya marah. Harga diri saya sebagai anak bangsa Indonesia serasa diinjak-injak.Masa presiden saya disebut menyebarkan kabar hoax? Apalagi pernyataan itu disampaikan di depan Forum pengusaha di Hongkong yang diharapkan mau berinvestasi ke Indonesia. Masa Jokowi mau memancing investor asing dengan kabar bohong?
Masalahnya, ternyata tulisan Kamp itu benar adanya. Dalam skala Asia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,02 persen berada di rangking buncit dari 14 negara pemuncak. Untuk skala dunia ternyata lebih parah.
Berbasiskan data tradingeconomics.com, ada terdapat 37 negara di dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari Indonesia. Negara yang menempati posisi tiga besar dalam konteks pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia adalah Islandia (11,3 persen), Irak (11 persen), dan Ethiopia (9,6 persen).
Pertanyaannya kini, mengapa Jokowi bisa salah? Usut punya usut, ternyata berpangkal pada  Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang menyebut saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk jajaran tiga besar di dunia.
Saya haqul yakin yang dimaksud Sri Mulyani adalah di antara G20, 20 negara perekonomian terbesar; di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di posisi ke-3 setelah India (7,2 persen) dan Tiongkok (6,8 persen). Tetapi ini bukan penyamarataan yang feer.Pasalnya perekonomian negara-negara maju anggota G20 tersebut sudah berada dalam kondisi steady; yang bermakna kalaupun bertumbuh, paling tinggi cuma akan di kisaran 3 persen.
Intinya, penyetaraan antara Indonesia dengan negara-negara maju anggota G20, tak lebih dari upaya menghimbur diri; atau kalau mau agak ektrim, sebuah pencitraan semata.
Keruan, hal ini mengingatkan saya pada pemberitaan terkait prestasi Jokowi Presiden sebagai pemimpin terbaik di Asia Pasifik versi Bloomberg. Ternyata klaim ini hanya berita hoax. Sang penulis artikel, David Tweed, mengaku tidak pernah menuliskan hal tersebut dalam artikel yang berjudul “Who’s Had the Worst Year?”
Pada akhirnya saya harus mempertanyakan: sejauh mana verifikasi data dan informasi di pemerintahan, dan khususnya Jokowi. Mustahil tidak ada tim khusus yang bekerja untuk ini. Tetapi mengapa pemerintah bisa kecolongan melulu?
Jangan-jangan, bukan tim verifikasi yang salah. Tetapi Jokowi yang silap. Data dan informasi yang disampaikan tidak sepenuhnya tercerna akibat satu dan lain hal. Akibatnya, terjadi salah menyimpulkan.
Kekacauan ini sebenarnya bukan hal baru. Kita tentu masih ingat dengan kehebohan Perpres No. 39 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Perpres No. 68 Tahun 2010 tentang pemberian fasilitas uang muka bagi pejabat negara pada lembaga negara untuk pembelian kendaraan perorangan. Ketika publik protes, Jokowi hanya menjawab “I don’t read what I sign.”
Ada pula polemik Arcandra Tahar yang diangkat sebagai Menteri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral kendati masih berstatus dwi kewarganegaraan. Walhasil, Presiden akhirnya membatalkan dua kebijakannya tersebut.
Muaranya, bisa saja kita mempertanyakan proyek-proyek mercusuar yang katanya akan membuat Indonesia meroket itu. Apa sudah benar-benar dihitung-hitung manfaatnya untuk rakyat di hari kelak? Jangan sampai salah data lagi. Bisa repot jadinya. Terlebih kebijakan itu sudah menguras kas APBN sehingga banyak pos-pos anggaran harus digunting; anggaran pendidikan yang diperciut dan kenaikan TDL tiga kali pada tahun ini adalah dua dari berkian banyak dampaknya bagi rakyat.
Masa kebijakan terkait hajat 250 juta rakyat Indonesia berbasiskan data yang belum valid dan belum akurat? Jangan sampai di hari kelak Jokowi menyebut: maaf bangsa Indonesia, saya salah menarik kesimpulan dari data dan informasi prediksi proyek-proyek mercusar ini. Sungguh terlalu! Kalau begitu, apa bedanya pemerintah dengan perhimpunan arisan?

Tidak ada komentar