Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Antasari Azhar, Praktisi Hukum atau Politisi Karbitan


Secara pribadi saya menanti sesuatu yang luar biasa atas penuntasan laporan Antasari Azhar terkait dugaan kriminalisasi yang menimpa dirinya. Terlebih, laporan itu menyangkut nama baik Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dan pengusaha sukses sekaligus Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo. Terlebih pelaporan tersebut berlangsung beberapa jam sebelum pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta putaran I di mana Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) putera SBY tengah berkompetisi –sedikit banyaknya manuver hukum ini tentu berpengaruh atas elektabilitas AHY tersebut. Jangan lupakan, pelaporan ini terjadi tidak lama setelah Antasari diberi grasi dan menyatakan akan tutup buku atas upaya menyelusuran kasusnya –sebelum akhirnya Antasari bertemu  Jokowi di istana negara dan mendadak manuver pelaporan ini terjadi.
Dalam kacamata saya, mulanya manuver Antasari ini seperti bom waktu yang kita nunggu-nunggu. Tetapi belakangan, kita sama-sama pahami bahwa manuver Antasari tak lebih dari petasan kentut –menyengat asapnya, tetapi ledakannya hanya mendesis. Tidak ada sesuatu bukti baru, sehingga laporan Antasari ini tidak diteruskan oleh Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim ke tahap penyelidikan.
Tentunya saya terheran-heran. Antasari bukan orang sembarangan di ranah hukum. Dia mantan ketua KPK, pernah menjadi Kajati Sumbar, dan pernah mencecap karir di kejaksaan agung. Kita tahu, yang namanya KPK tidak pernah main-main perkara pembuktian, sehingga yang namanya tersangka KPK hampir pasti tidak pernah ada yang selamat dari jerat hukum. Lantas dengan pengalaman yang puluhan tahun, mengapa Antasari bisa begitu teledor dalam memperkarakan seseorang? Apalagi seseorang itu berstatus mantan presiden?
Saya hanya memiliki dua dugaan untuk menjelaskan kejadian aneh ini. Pertama, Antasari adalah alat untuk menggebuk SBY. Antasari adalah senjata pamungkas yang dipakai elit penguasa untuk mencegah AHY semakin bersinar di Pilkada DKI Jakarta. Antasari “membunuh” karir AHY lewat menuver penyerangan SBY. Sebagai imbal-jasa, Antasari mendapat sesuatu yang entah apa. Antasari juga mendapat jaminan bahwa dirinya tidak akan diperkarakan akibat manuver ini. Jika skenario ini benar, maka pertanyaan turunannya adalah: siapa yang berkuasa menjamin hukum dapat melindungi Antasari pra dan pasca manuvernya ini?
Kedua, tersedia pula opsi lainnya, yakni kekecewaan Antasari terhadap SBY. Antasari melihat bahwa kartu as penyelesaian masalahnya ada di tangan SBY. Sekiranya dahulu, semasa menjabat, SBY mau melakukan intervensi hukum, maka dirinya dapat terbebas dari kasus pembunuhan Dirut PT. Putera Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen. Sebagaimana diketahui, komisioner KPK amat menjadi perhatian publik. Ada persepsi bahwa komisoner KPK mustahil bersalah, dan setiap kasus menjeratnya hanya akal-akalan pihak ekternal yang terusik oleh manuver KPK.
Maka disusunlah sebuah kisah, bahwa SBY dendam kepada Antasari karena Aulia Pohan digelandang ke bui. Melalui pembangunan skenario ini, diharapkan SBY akan mendulang serangan publik jika tidak mau mengintervensi kasus hukum Antasari. Nyatanya, skenario citra negatif ini gagal. SBY tetap bergeming dan membiarkan kasus Antasari diselesaikan sesuai mekanisme hukum.
Dan subtansi pelaporan Antasari tempo hari sejatinya hanya pengulangan skenario opsi kedua ini ke tengah-tengah masyarakat. Bahkan demi meruyakan kembali skenario ini, Antasari sampai menepikan pengetahuan sebagai praktisi hukum. Buktinya, Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim memastikan penghentian proses penyelidikan laporan dugaan kriminalisasi yang dilayangkan Antasari. Ketiadaan bukti menjadi alasan tidak bisa naiknya perkara ke tahap penyidikan. Apalagi, laporan yang dilayangkan Antasari menyangkut putusan hukum yang sudah tetap atau inkracht.
Sebagai mantan praktisi hukum, penolakan ini mestinya sudah bisa diprediksi. Rasanya mustahil bila “kesaktian” Antasari Azhar lenyap selama dirinya meringkuk di penjara. Apakah nuansa emosional Antasari lebih kuat ketimbang nalar mantan praktisi hukum sehingga dirinya gapah-gopoh melakukan pelaporan pada hari yan penting dalam kaitan politik ibukota, dan barangkali nasional?
Kesimpulan, pelaporan Antasari tempo hari bukanlah langkah hukum. Alih-alih, pelaporan itu bukan mengejar penyelesaian di ranah hukum, melainkan manuver politik untuk tujuan tertentu. Mau manuver itu diteruskan atau ditolak, bukan lagi hal yang penting selama tujuan politiknya sudah tercapai. Pada titik ini, Antasari secara pasti telah meninggalkan statusnya sebagai praktisi hukum, dan menjadi seorang politikus –dan bagi seorang politikus kebenaran bukan soal bukti hukum melainkan perkara kepentingan.
Karenanya, jawaban kuasa hukum Antasari pun terkesan politis.  “Sampai kiamat Antasari tidak akan meminta maaf ke SBY,” katanya. Apa hubungannya kiamat dengan penegakan hukum? Bukankah hukum terkait dengan pembuktian benar-salah di mata hukum, bukan emosional kiamat sudah jauh/dekat?

Tidak ada komentar