Catatan rusuh di Kemendragri: Presiden Jokowi Bekerja Buat Siapa?
Ada resah di hati
saya atas kerusuhan yang terjadi di Kemendagri tempo hari. Sekelompok pendukung
calon kepala daerah dari Papua mengamuk. Gedung pemerintah rusak sudah. Bahkan
ada PNS yang sampai terluka.
Sebelumnya,
sama-sama kita saksikan kejadian di Bandara Sam Ratulangi. Wakil Ketua DPR
Fahri Hamzah ditolak menjejak bumi Sulawesi Utara. Parahnya, penolakannya
berbentuk penyerbuan ke bandara. Terpampang berbagai foto beberapa orang sedang
membawa senjata tajam.
Apa makna di balik
ini semua?
UU sudah menjamin
rakyat untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Tetapi, ada aturannya. Tidak
boleh anarkis. Terkait tempat, unjukrasa dilarang dilaksanakan di lingkungan
istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara
atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital
nasional.
Bagaimana ceritanya
massa pengunjukrasa dengan menyandang golok bisa masuk ke Bandara Sam
Ratulangi? Bagaimana ceritanya massa bisa bertindak anarkis di Kemendagri?
Benar! Orang-orang
ini harus ditindak. Tetapi tidak ada asap kalau tidak ada api. Perlu ditelisik
lebih dalam supaya kita bisa memahami motifnya. Mengapa mereka nekad bertindak
anarkis? Mengapa nekad berbuat sesuatu yang nyata-nyata melanggar hukum?
Yang terbayang di
benak saya adalah ketidakpuasan. Ada ketidakpuasan terhadap sistem bernegara yang
memicu massa bertindak nekad. Ada ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan
nasional sehingga massa berpikir harus turun tangan sendiri.
Pemerintah tidak
mampu meluruskan keresahan publik, sehingga kritikan Fahri Hamzah terhadap
kehidupan berbangsa dan bernegara malah dituding sebagai tindak pemecah belah
bangsa dan negara –yang lucunya malah dibalas wacana referendum.
Mahkamah Konstitusi
gagal menjawab kekecewaan masyarakat sehingga konflik Pilkada Papua berlanjut
jadi aksi saling intai di Jakarta. Lalu, karena merasa “diremehkan” pihak
Kemendagri, massa Papua nekad mengamuk.
Mengapa masyarakat
bisa tidak puas terhadap sistem bernegara? Mengapa masyarakat bisa tidak
percaya kepada kepemimpinan nasional? Penyebabnya—saya tidak bisa menemukan
istilah yang lebih lembut—adalah lemahnya kepemimpinan Jokowi. Tindak-tanduk
Jokowi dalam memimpin Indonesia memicu ketidakpastian.
Mari lihat lebih
jauh lagi perihal ketidakpastian ini. Silakan kaji mendalam ketidakpastian yang
terjadi di jajaran pemerintah pusat. Ada aksi saling bantah antar menteri; di
mana setiap ucapan yang tercetus ternyata tidak nyambung, bahkan saling
mendegragasi. Konflik antara TNI vs Polisi?
Kesalahan data,
bahkan kesalahan ketik yang membikin malu instansi kepresidenan hingga ke
tingkat internasional. Seorang presiden yang tidak membaca apa yang ditandatanganinya?
Huh!
Semua ini
menggambarkan manajemen pemerintah yang acak-aduk. Kebijakan maju
mundur—pokoknya lemparkan dulu, kalau rakyat protes langsung tarik kembali.
Celakanya, kelemahan
ini ditutupi dengan topeng pengalihan opini publik—amati saja aksi vlog dan
kuis bagi-bagi sepeda itu. Atau selebrasi kebersahajaan—presiden mengenakan
kaus murah di antara Pampamres berbatik mewah? Betul rakyat tertawa.
Betul rakyat takjub.
Tetapi, apakah persoalan hidup selesai dengan tawa dan takjub lima detik itu?
Seolah-olah Presiden bukan bekerja untuk menyelesaikan masalah rakyat, tetapi
untuk menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian rakyat. Bingung kita
dibuatnya.
Rusuh di Kemendagri
dan Bandara Sam Ratulangi ibarat tanah, batu dan pasir yang dibawa arus sungai
dari kawasan hulu yang hutannya sudah ditebangi gundul. Lambat-lambat dampak
pengerusan itu mengendap dan terus mengendap di muara sungai, dan
akhirnya—bum!—mendadak tercipta sebuah delta, pulau baru di muara. Kita
terkejut, tapi lacur semuanya sudah terjadi!
Ketidakpastian
memicu kekecewaan. Kekecewaan yang tidak terkelola memicu main hakim sendiri.
Dan rakyat pun bertanya Presiden di mana? Presiden sedang berbuat apa? Presiden
bekerja buat siapa?
Post a Comment