Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Tirto.id, Ahok dan Kudeta Para Jenderal


Ada yang menarik di sela kesibukan pemungutan suara Pilkada Jakarta, Rabu (19/4/2017) kemarin. Tirto.id, satu media daring menyiarkan laporan Allan Nairn, seorang jurnalis investigasi kawakan. Judulnya “Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar” dan “Allan Nairn, Mimpi Buruk Para Jenderal”. Inti kedua laporan ini mirip, yakni mengupas skenario para Jenderal untuk menumbangkan Jokowi, di mana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjadi pintu masuknya.
Terus terang saya geli membacanya. Kok bisa tepat amat waktunya? Dua artikel itu disiarkan sekitar pukul 10 pagi, saat TPS se-Jakarta sedang sibuk-sibuknya memfasilitasi masyarakat untuk memilih. Tirto.id bahkan menjadikan “Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar” sebagai tweet sematan di akun Twitter-nya. Sebagai pemanis, twit itu dibumbui “pengumuman” menarik: “Keterlibatan Fadli Zon, Hary Tanoe, SBY, hingga Gatot Nurmantyo dlm usaha menjatuhkan Jokowi. Al-Maidah cuma dalih”.
Semoga ini cuma kebetulan. Tersebab, jika berharap terjadi agenda setting kemenangan Ahok-Djarot, sudah gagal hasilnya. Dalam berbagai hitung cepat, Anies Baswedan-Sandiga Uno unggul mutlak. Kesuksesan paslon yang didukung oleh Fadli Zon dan Hary Tanoe ini sekaligus menggambarkan warga Jakarta tidak pandir dalam mencerna informasi; sekalipun asalnya dari jurnalis kawakan semacam Nairn.
Lagipula, kecuali penulisnya seorang jurnalis asing, isi kedua laporan itu tidak meriah-meriah amat. Malah mirip gosip jalanan yang santer sejak Oktober 2016 silam. Namun, gosip memang akronim dari diGOsok makin SIPP. Informasi-informasi kapiran jika berulang-ulang diagitasi boleh menjadi kebenaran publik.
Namun gosip mustahil bersifat mutlak satu sisi. Selalu banyak versi, termasuk versi yang paling sadis. Contohnya, ada gerakan masif menggebuk penentang Ahok sebagai anti kebhinekaan. Pucuk-pucuk pimpinannya dituding hendak makar, di mana sebagian di antaranya belakangan diciduk polisi.
Terkait kasus penistaan agama yang menyangkut Ahok. Ada versi insiden ini bukan terpeleset lidah. Ahok sengaja melakukannya. Jika dikaitkan dengan model kampanye Ahok yang memosisikan diri dizalimi akibat berstatus minoritas untuk mendulang simpati publik; bisa jadi benar kan?
Perkara rencana kudeta para jenderal juga bisa dikupas bertolak punggung. Ahok bukan pintu  masuk rencana kudeta, melainkan kunci memecah belah kekuatan Islam. Bukankah akibat insiden Ahok, umat Islam terkesan pecah-belah? Macam-macam saja gosipnya, semisal tidak memandikan jenazah Ahoker, atau konten Jakarta bersyariah yang terkesan janggal itu.
Ada yang tegas mendukung Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid, tetapi ada pula yang menentang habis-habisan –dan kalangan ini yang mayoritas  diundang Jokowi makan siang di Istana Negara. Tidak sedikit tokoh Islam yang menawarkan jalan ketiga; tidak mau turut campur dengan aksi gontok-gontokan demi persatuan umat. Intinya, akibat insiden Ahok, meminjam istilah Anies, tenunan keIslaman umat semakin merenggang.
Pertanyaannya, siapa yang paling untung jika umat Islam apolitis? Jika umat Islam terpecah-belah? Gosip jalanan menyebut Jokowi adalah orangnya. Menimbang fenomena Pilpres 2014, kalangan umat Islam cenderung mendukung Prabowo-Hatta Rajasa. Waktu itu, gosip-gosip hubungan Jokowi dengan pihak komunis dan anti Islam bak tsunami. Kaitannya, insiden Ahok memaksa sebagian tokoh Islam bertegas-tegas: jangan jadikan sentimen agama untuk memilih pemimpin publik.
Gosipnya, insiden Ahok juga menjadi pintu masuk buat menggebuk lawan politik Jokowi. Salah satu yang fantastis adalah beredar data-data dukungan PKS, partai yang berkian-kian dituding sok islami, mendukung kandidat non muslim di pilkada-pilkada luar Jakarta. Memang, ending  Ahok-Djarot di Pilkada Jakarta tidak paripurna. Tetapi perubahan persepsi publik menggambarkan skenario ini lumayan berhasil. Tergerusnya sentimen agama boleh jadi menjadi tambahan modal bagi Jokowi untuk maju dalam Pilpres 2014.
Penyebutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai provokator yang penyandang dana Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid itu lebih lucu lagi. Pasalnya, sudah berkian-kian SBY menegaskan mendukung Jokowi-JK sampai akhir masa jabatannya. Probowo, mantan kompetitor Jokowi, juga menegaskan hal yang sama. Bahkan, jauh sebelum pertemuan SBY dan Jokowi, Presiden sudah dua kali bertemu ketua umum Partai Gerindra itu.
SBY sudah menjadi presiden selama dua periode. Apa iya, SBY mau kenegarawanannya tercoreng gara-gara menelikung konstitusi? Lagipula, SBY dapat apa kalau kudeta itu benar adanya? Yang akan memetik keuntungan tentu elit di lingkungan istana. Bisa JK karena sesuai peraturan perundang-undangan, ketika presiden terjungkal, secara otomatis digantikan wapres. Bisa pula Panglima TNI Gatot Nurmantyo, menimbang TNI adalah organisasi yang paling siap jika terjadi pergantian kekuasaan inkonstitusional. Tetapi apa iya semudah itu kalangan politisi ikhlas menggelar karpet merah buat JK dan Gatot?
Banyak lagi gosip-gosip jalanan yang lain. Makanya, laporan Nairn tidak perlu diseriusi amat. Makar dan insiden Ahok ibarat bola liar yang bisa ditujukan kepada siapa saja. Tinggal bagaimana mengolah narasinya. Jangan perkeruh kemenangan warga Jakarta pada 19 April 2017 ini. Biar hukum saja yang mengurus hal-hal semacam ini.
Alih-alih, saya sebenarnya lebih kepincut pada alasan mengapa Tirto.id menyiarkan kedua laporan Nairn semasa jam sibuk TPS Pilkada Jakarta.

Tidak ada komentar