Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Nasib Trah Sukarno di Panggung PDIP


Awal April ini ada kabar menyentak dari dunia politik tanah air. Santer kabar Megawati Soekarnoputri berencana mundur dari jabatan Ketua Umum PDIP. Dahsyatnya, Mega juga berencana pensiun seutuhnya dari jagat politik. Meminjam istilah Presiden ke-2 RI, Suharto, Megawati hendak lengser keprabon, madeg pandito.
Belum jelas sikap internal PDIP atas rencana ini. Yang jelas, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyikapinya dengan kecewa. Suasana kebathinan internal PDIP tetap berharap Megawati tetap memimpin PDIP sehingga jalan ideologi yang ditempuh mendapat pengawalan yang baik.
Lengsernya Megawati bukan wacana baru. Cepat atau lambat, Mega pasti akan melakukannya. Saat ini, Mega adalah pemimpin parpol terlama dan tertua di Indonesia. Dia sudah berkepala tujuh, dan sudah 18 tahun memimpin PDIP. Masalahnya, jika Mega mundur, siapa pengantinya?
Saya menilai, PDIP akan kesulitan menemukan penganti sekaliber Mega. Ada keistimewaan Mega yang tidak dimiliki oleh tokoh PDIP manapun. Pertama, Mega memiliki kewibawaan yang besar. Kalau ada permasalahan nasional, Mega adalah salah satu sosok yang paling dicari mengingat pendiriannya yang teguh. Kedua, Megawati memiliki pengalaman politik yang panjang. Statusnya sebagai trah Sukarno, membuat Mega harus merangkak dari dasar istana politik semasa Orde Baru. Dia sudah melalui lembah, jurang, dan gunung perjuangan sehingga bisa menapak sebagai Ketum PDIP, dan akhirnya Presiden ke-5 RI. Terakhir, Mega adalah pewaris ideologi Sukarno. Dia adalah magnet yang menghimpun segenap unsur di PDIP untuk bergerak bersama membangun parpol moncong putih.
Kualifikasi seperti ini terang tidak dimiliki oleh tokoh PDIP manapun, termasuk yang memiliki darah Sukarno. Namun jika waktunya tiba, dua pilihan terbaik adalah Puan Maharani dan Prananda Prabowo, yang mewarisi darah sang kakek, Sukarno. Alasannya faksi-faksi di internal lebih nyaman jika PDIP kembali dipimpin trah Soekarno
Di antara puteri dan putera Mega, barangkali Puan yang paling berpeluang. Kendati Puan lebih muda dari Prananda, tetapi karir politiknya lebih melesat. Baik di internal maupun eksteral PDIP, Puan menempati posisi strategis. Kecuali menjabat Ketua Bidang DPP PDIP, Puan juga sempat  menjadi ketua fraksi PDIP di DPR. Pada Pileg 2014, Puan adalah Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDIP.
Konon, jika PDIP bisa meraup 20 % suara pada Pileg 2014, Puan akan diusung sebagai wapres Jokowi.
Sebaliknya, Prananda cenderung berada di belakang layar. Konon dia adalah sosok yang mengomandoi war room PDIP. Dia yang merancang dan mengagitasi isu-isu penting di internal dan ekternal PDIP. Sebagai sosok yang berada di belakang layar, Prananda fasih akan ideologi Sukarno, sehingga sempat dijuluki sebagai  penjaga idelogi Sukarno di internal DPP PDIP; sesuatu yang belum mampu tercitrakan dari sosok Puan. Keunggulan Prananda lainnya adalah kedekatannya dengan Presiden Jokowi.
Intinya no body perfect. Puan maupun Prananda hanya mampu mewarisi satu keunggulan yang dimiliki Megawati. Puan dengan karir politiknya, sementara Prananda dengan magnet ideologinya. Jika mereka vis a vis, diperkirakan munas PDIP akan amat meriah. Masing-masing punya pendukung. Puan dengan basis dukungan dari para politisi PDIP yang sedang duduk di kursi kekuasaan. Sementara Prananda dengan dukungan lingkar dalam PDIP yang selama ini berjibaku membangun kelembagaan, organsiasi dan kader parpol. Sederhananya, pertarungan ini adalah perbutan antara lingkar “luar” dan lingkar “dalam” PDIP. Pertarungan yang amat keras agaknya.
Di luar mereka ada opsi lain. Opsi ketiga adalah majunya Jokowi menuju kursi Ketum PDIP. Hasrat Puan dapat tergaduh jika Jokowi memutuskan untuk turut berkompetisi. Sebagai Presiden, Jokowi terang sosok pertama yang akan dilirik setelah mereka berdua. Sebaliknya, Jokowi berkepentingan memastikan dukungan PDIP atas kebijakan-kebijakannya sebagai presiden. Jokowi membutuhkan dukungan kuat PDI-P guna memuluskan kebijakan-kebijakannya agar tidak dijegal di DPR. Masalah ini akan tuntas jika Jokowi mengambil alih tampuk ketum PDIP.
Opsi ini bisa berhasil mengingat Jokowi adalah “anak baik” Mega. Jokowi memiliki pengaruh kuat terhadap Mega. Semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi sudah mampu “memaksa” Megawati untuk memberikannya tiket capres. Dominasi Jokowi di PDIP kian meluas pasca terpilih sebagai Presiden. Dalam Munas PDIP terakhir contohnya, menderas wacana untuk mendapuk Jokowi sebagai Ketum PDIP. Dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, Jokowi piawai melobi Megawati sebagai Basuki Tjahaya Purnama bisa gol menjadi cagub yang diusung PDIP.
Semua ini adalah sinyal kuat. Kehadiran Jokowi berpotensi meruntuhkan trah Sukarno di PDIP, bahkan mengambil-alih PDIP. Jika kompetisi menuju ketum PDIP paska Megawati dilakukan secara fear, kuat dugaan Jokowi akan mempercundangi Puan dan Prananda.
Tetapi, jika Jokowi engan mengudeta trah Sukarno di PDIP, opsi yang tersisa adalah mendukung Prananda. Sudah rahasia umum, hubungan Puan dan Jokowi kurang harmonis. Ada ketidaksukaan Puan terhadap Jokowi yang berdarah ndeso. Ingat rumor Puan mendamprat Jokowi sewaktu Pileg 2014? Barangkali, sejak jauh-jauh hari, Puan sudah mengendus bahwa memberi hati Jokowi ibarat membesarkan anak harimau. Belakangan, prasangka ini memang terbukti. Semakin lama pengaruh Jokowi kian menguat di PDIP.
Pilihan mendukung Prananda terang yang paling rasional. Win win solution. Kecuali Jokowi relatif akrab dengan Prananda, pilihan ini lebih baik ketimbang membiarkan Puan menahkodai PDIP. Sebaliknya, kekuatiran Puan akan melorotnya dominasi trah Sukarno di PDIP bisa dicegah. Konsekuensinya, Puan harus berbesar hati. Jika opsi ini yang dimainkan, otomatis pengaruh Puan akan mengendor. Dia harus rela membiarkan Prananda menjadi tokoh pemuncak.
Tetapi, bagi Puan, opsi keempat bukan tanpa risiko. Salah-salah, lambat-laun Puan dapat disingkirkan dari PDIP; sebagaimana yang berlaku di PKB pasca kepemimpinan Abdurahman Wahid. Pertanyaannya, apakah Puan siap?

Tidak ada komentar