Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Gerakan Non Blok, SARA, dan Keteledoran Megawati


Ada yang menarik dari pidato Megawati Sukarnoputeri (Mega) dalam peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Istana Negara, Selasa (18/4/2017). Dia menyebut, “Saat keberagaman sebagai hal kodrati dihancurkan, niscaya kepahitan, kesengsaraan dan penderitaan yang justru akan menimpa kita semua.”
Tidak ada yang salah dengan pidato ini. Keberagaman adalah kekayaan bangsa. Indonesia yang terdiri dari ribuan suku, puluhan agama, banyak enits diikat oleh semangat Bhineka Tungga Ika saat negara ini diproklamirkan.
Tetapi, lagi-lagi, persoalannya bukan sekadar menggali nilai-nilai luhur kebangsaan, melainkan implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Publik sudah mabuk oleh perpisahan antara kata dengan perbuatan para pemimpinnya; termasuk Megawati. Dan karena Pilkada Jakarta sedang menghangat, izinkan saya menjadikannya sebagai “medan perang” tulisan ini.
Pilkada Jakarta membuktikan betapa seksi, sensitif, sekaligus besarnya daya rusak isu SARA. Energi produktif bangsa tersedot demi Jakarta. Gesekan sosial, berikut aksi kekerasan dan saling fitnah telah meruyakan kekuatiran besar. Pilkada Jakarta sudah ibarat medan perang.  Besok, 72 ribu pesonil TNI dan Polri akan bersiaga di ibukota. Pertanyaannya, dari mana kekacauan ini bermula?
Kalau kita mau jujur, titik mulanya jauh dari terpelesetnya lidah Basuki Tjahaya Purnama di Kepulauan Seribu. Jauh sebelum insiden Al Maidah 51, isu SARA sudah digunakan untuk menghantam para penyerang Ahok. Bahkan mereka yang melancarkan kritik konstruktif dan humanis. Politik cari simpati yang kebablasan ini menjadi benih-benih api yang terus disemai semasa pemerintahan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Belakangan, benih-benih ini membakar publik, sehingga penentang Ahok meluas berjuta-juta banyaknya –dari yang semula hanya FPI dan Forum Umat Islam.
PDIP, parpol yang mengklain sebagai darah dan daging Sukarno pasti membaca fenomena ini. Ada pihak-pihak yang bereksperimen politik model baru; yakni mendulang keuntungan politik melalui persepsi terzalimi oleh isu SARA. Mega pasti bisa mengendus kekacauan besar yang kelak terjadi sekiranya model kampanye politik semacam ini tidak dipuntung.
Mega bisa mencegahnya. Sebagai the rulling party yang memiliki kader berstatus presiden, bukan sukar bagi PDIP buat menjegal Ahok. Terlebih koalisi parpol pendukung Ahok mayoritas adalah anggota koalisi parpol pendukung pemerintah. Alih-alih, Mega malah membiarkan PDIP dijebak konflik aksi reaksi ini –antara pemain isu SARA dan Islam fundamentalis. Ketimbang menawarkan jalan ketiga, Mega mengorbankan peluang Djarot Syaifullah, salah satu kader terbaik PDIP, untuk merebut kursi Gubernur DKI.
Belakangan, Mega seolah tersadar. Entah berapa kali dia memperingatkan Ahok untuk menjaga tabiatnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Tanggung tercebur, baikan mandi sekalian. Dan publik pun menyaksikan betapa PDIP menjelma menjadi pendukung die hard bagi Ahok-Djarot. Yang teranyar, pelaku politik sembako yang booming sepekan ini santer terindikasi adalah kader dan simpatisan PDIP.
Jadi, ketika hari ini Megawati berseru-seru pantang menghancurkan keberagaman; kental janggalnya. Terlebih menimbang keteledoran Megawati untuk menawarkan jalan ketiga. Siapa yang lantas membenahi keteledoran Mega ini? Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah orangnya.
Saya haqul yakin, perkara jalan ketiga ini yang menjadi salah satu alasan majunya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) -Sylvia Murni (Sylvi) dalam Pilkada DKI Jakarta. Demi mencegah kekacauan hebat, SBY merelakan AHY-Sylvi menjadi ganjal dua kutub ekstim ini. SBY menawarkan jalan ketiga. Dan hari ini publik menyaksikan betapa bernilainya gagasan ini. Dulu, semasa AHY-Sylvi masih digelanggang, benturan antara dua kutub ekstrem politik Jakarta, tidak sehebat ini.
Sebaliknya, pasca mundur dari gelanggang, koalisi “Jakarta Untuk Rakyat” tetap mengambil jalan ketiga; tidak memihak salah satu, tetapi membiarkan para pendukung untuk memilih sesuai hati nurani dan pemikiran masing-masing. Apa jadinya jika tempo hari koalisi “Jakarta Untuk Rakyat” memihak Ahok-Djarot atau Anies-Sandi? Besar kemungkinan kekacauan ini akan bertambah besar.
Ini mengesankan SBY lebih memahami hakikat KAA ketimbang Mega. Sejarah mencatat, KAA adalah titik mula gerakan non blok terhadap tekanan dua kutub ekstrim di masa lalu —komunisnya Uni Sovyet dan kapital-pasarnya Amerika Serikat. Perang dingin kedua kekuatan besar itu disikapi Sukarno dengan brilian. KAA menegaskan penolakan bangsa-bangsa Asia dan Afrika diseret-seret dalam pertikaian Uni Sovyet dan Amerika. KAA mencetuskan jalan ketiga.
Wajar saja jika arsip pidato Sukarno beserta arsip KAA lainnya ditetapkan sebagai Memory of The World oleh UNESCO. Sukarno menawarkan jalan tengah demi perdamaian dunia. Eksistensi gerakan nonblok sukses meredam perang dingin meningkat menjadi Perang Dunia III. Sayangnya, hakikat KAA ini sepertinya terluput dari pemikiran Mega.
Pertanyannya sekarang, bagaimana hendak menyerukan kedamaian dalam keberagaman secara universal, sedang kesempatan untuk menjaga harmonisasi di Jakarta saja, dilewatkan oleh Mega? Sungguh amat disayangkan.

Tidak ada komentar