Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Menggugat Keteladanan A.M. Fatwa dalam Kisruh DPD


Kalau ada yang tidak kenal AM Fatwa, pasti bukan aktivis sosial politik. Fatwa adalah simbol kritisme tanpa batas. Dia merupakan ikon perlawanan terhadap rezim otoriter. Dia sudah kenyang akan teror dan tindak kekerasan rezim penguasa sehingga kerap keluar masuk rumah sakit dan penjara. Berdirinya PAN, juga tidak bisa dilepaskan dari cetak-tangan Fatwa. Sederhananya, wajah Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari sepak-terjang Fatwa.
Sebagai politisi tiga zaman, wajar jika Fatwa mendapat tempat terhormat di era reformasi. Fatwa tercatat pernah mengemban amanah sebagai Wakil ketua DPR RI, Wakil Ketua MPR RI, hingga Ketua Badan Kehormatan DPD RI. Di usianya menjelang kepala delapan, pendapat Fatwa masih menjadi rujukan bagi dunia politik di tanah air. Sayangnya, sikap Fatwa terkait ricuh pemilihan pimpinan DPD tempo hari, sungguh mengecewakan. Ada inkonsistensi di sana. Fatwa seolah-olah bukan politisi negawaran yang selama ini dikenal publik.
Masih terang di ingatan publik, betapa fatwa tegas menolak pemilihan wakil ketua DPD. Dengan berpijak pada keputusan Mahkamah Agung yang mencabut Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2017, Fatwa menilai hanya posisi ketua DPD yang boleh berubah. Sementara posisi GKR Hemas dan Farouk Muhammad sebagai wakil ketua DPD bersifat tetap. Nyatanya, tempo hari, Fatwa menyimpang dari pernyataannya sendiri. Tempo hari, Fatwa bertindak sebagai pemimpin sidang sementara dalam sidang paripurna DPD yang menghasilkan pimpinan DPD baru. Osman Sapta Odang (OSO)sebagai ketua DPD, serta Nono Sampono dan Darmayanti Lubis sebagai sepasang Wakil Ketua DPD.
Jika menentang, Fatwa pasti kalah suara di persidangan yang diukur berbasiskan berapa kepala mendukung siapa. Tetapi, sebelum dan sesudah Wakil Ketua MA Suwardi melantik pimpinan DPD terpilih, Fatwa tidak melantang penolakan. Fatwa mengamini inkonsistensinya dengan klausa “itu pilihan teman-teman”.
Menarik mencermati sikap AM Fatwa ini. Mengingat dirinya bukanlah politisi yang cenderung ikut arus mainstream. Rekam jejak Fatwa menunjukan bahwa dirinya berani tampil beda, sekalipun harus bertentangan dengan penguasa. Jadi, apa yang melatarbelakangi inkonsistensi Fatwa? Saya mencatat dua pokok kemungkinan.
Pertama,  Fatwa telah terjebak arus politik transaksional. Dalam politik, lumrah istilah berbuat apa dan mendapat apa. Barangkali, ada sesuatu yang didapat oleh Fatwa atau orang-orang di sekitarnya, sebagai bayaran dari inkonsistensi ini. Apa bentuknya? Tentu bisa banyak hal. Terutama jika dikaitkan dengan posisi OSO sebagai pengusaha sukses sekaligus Ketua Umum DPP Partai Hanura yang mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Merujuk pada rekam jejak Fatwa, poin ini peluangnya tipis. Tetapi, bukankah politik adalah seni mengelola peluang?
Kedua, Fatwa menilai posisi pimpinan DPD tidak lebih strategis ketimbang menjaga persatuaan jamaah senator. Dari hasil sidang paripurna DPD dapat tergambar bahwa mayoritas senator menolak putusan MA. Jadi ibarat buah simalakama, Fatwa mengambil keputusan yang kemudharatannya paling rendah. Tidak mungkin mendukung putusan MA, ketika mayoritas DPD justru menolaknya. Sekiranya ada senator yang mampu meyakinkan Fatwa bahwa MA sudah “diamankan”, pilihan apalagi yang tersisa bagi Fatwa. Melawan pun dia pasti kalah.
Tetapi menjaga keharmonisan mayoritas DPD, dengan menyisakan sengketa terhadap minoritas senator, tidak lebih rendah mudaratnya. Dengan mendukung suara mayoritas DPD, Fatwa telah memperluas sengketa menjadi antar dua lembaga tinggi negara; MA dan DPD. Alih-alih, menuntaskan masalah, bola panas kini bergulir kepada MA. Virus perpecahan mulai kentara di internal MA.
Jika tidak ada perpecahan di internal MA; tentu Wakil Ketua MA tidak akan memandu pengambilan sumpah jabatan OSO cs. Pasalnya, pelantikan itu berlangsung saat Supandi selaku ketua majelis hakim judicial review yang membatalkan tatib DPD sedang tidak di Indonesia. Supendi yang menjabat Ketua Muda MA bidang Tata Usaha Negara (TUN), bersama Ketua MA M. Hatta Ali sedang beribadah umroh. Kesimpulannya, tidak ada komunikasi di internal MA perihal pelanggaran putusan MA oleh DPD ini.
Indonesia adalah negara hukum. Begitu tingginya penghormatan bangsa kita terhadap hukum sehingga ada istilah hakim adalah wakil Tuhan di dunia. Ini disimbolkan dengan setiap putusan hakim harus diawali dengan irah-irah atau kepala putusan ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dan keputusan wakil Tuhan ini yang dilanggar oleh DPD. Tragisnya, Fatwa, sang politisi tiga zaman, turut mendukung kesalahan ini beralas tindakan itu adalah suara mayoritas anggota DPD.
Padahal, dalam hukum tidak ada istilah suara mayoritas. Karena, jika itu yang dipegang, tentu hari ini Basuki Tjahaya Purnama sudah mendekam di penjara karena tuntutan sekitar 7 juta massa. Hukum hadir untuk membatasi kekuasaan, termasuk kezaliman kekuasaan yang didukung oleh suara mayoritas. Ada kekacauan dahsyat akibat pelanggaran putusan MA hanya karena suara mayoritas senator sepakat melanggarnya. Kredibilitas lembaga tinggi negara yang dipertaruhkan.
Terlepas apapun dasar pilihan Fatwa, seharusnya dia tetap konsisten dan memperjuangkan ucapannya. Kalaupun kalah, publik tetap menilainya sebagai politisi bijaksana. Justru ketika Fatwa memutuskan terjun ke dalam arus mainstream, semakin kacaulah sumberdaya keteladanan dalam dunia politik. Sungguh amat disayangkan citra negarawan Fatwa harus tercederai oleh kisruh DPD ini. Semoga saya salah!

1 komentar

Pinky mengatakan...

Gabung bersama RoyalQQ.com
Hanya dengan deposit minimal Rp. 15.000,- anda sudah beisa bermain di semua Hot Games

Tidak hanya itu lho!!
RoyalQQ juga akan membagikan Bonus setiap harinya!!

So tunggu apa lagi!?

Yuk daftarkan segera hanya di
www.RoyalQQ.com

Jalan Menujuh Kemenangan