Skandal Penyadapan SBY dan KH. Ma'ruf Amin, Akankah Jokowi Turun Tangan?
Privasi kita sebagai warga
negara terancam ditendang ke dasar jurang. Dugaan penyadapan atas ponsel
Presiden ke 6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan KH. Ma’ruf Amin adalah
alarm ancaman privasi warga negara dalam berkomunikasi. Jika sosok
sekaliber mantan presiden, dan ulama besar merangkap Rais Aam NU saja disadap,
apa yang menghalangi kejadian serupa tidak akan menimpa kita?
Betapa mengerikannya jika
segala perbincangan kita, baik via ponsel maupun email dan group-group digital
masuk ke dalam brankas pengawasan negara. Siapa yang bisa menjamin data itu
tidak akan disalahgunakan?
Dalam persidangan
penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahya Purnama, kita saksikan dugaan
penyalahgunaan kekuasaan. Dengan pongah, kuasa hukum Ahok mengklaim punya bukti
percakapan SBY dan dan KH. Ma’ruf Amin. Bahkan waktu dan rekaman
percakapannya juga tercatat.
Apa yang dipampangkan Ahok
dan penasehat hukumnya adalah pagelaran arogansi kekuasaan yang nyata-nyata
menyimpang. Hukum telah mengatur bahwa pihak yang berwenang menyadap adalah
penyidik. Wewenang itu pun dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Konten
penyadapan adalah informasi internal aparat hukum yang tidak disebarluaskan
serampangan.
Ada dua hal yang patut
dipertanyakan. Pertama, pemerintah sudah sepakat bahwa kasus Ahok bersifat
personal. Tidak ada kaitannya dengan keamanan negara. Lantas, mengapa dilakukan
penyadapan? Kedua, dari mana tim kuasa Ahok bisa memiliki konten tersebut?
Apakah mereka dapat bocoran dari intelejen? Jika begitu, pemerintah telah
mengangkangi hukum dengan berpihak atas kasus Ahok. Ini akan kejahatan
pemerintah terhadap hak warga negaranya.
Dugaan ini menguat
mengingat Jokowi dan Ahok berkarib sejak memerintah DKI Jakarta. Publik pun
belum lupa pada rumor BIN membentuk tim pemenangan Ahok dalam pilkada DKI
Jakarta, selepas Budi Gunawan menjadi kepala BIN. Kalau penyadapan dilakukan
tanpa melibatkan aparat negara, misalnya berkongsi dengan provider
telekomunikasi, maka telah terjadi kejahatan pidana.
Yang jelas, Ahok dan
penasihat hukumnya berpotensi melanggar UU Informasi Transaksi Elektronik
(ITE) perihal larangan penyadapan illegal. Sanksinya penjara 10 tahun dan/atau
denda Rp 800 juta.
Di luar negeri, sanksi
penyadapan bukan main. Presiden AS Ricard Nixon terpaksa mundur akibat skandal
watergate; menyadap lawan politiknya pada masa kampanye Pilpres. Salah satu
kegagalan Hillary Clinton melawan Donald Trump adalah skandal penyadapan Konvensi
Nasional Demokrat (Democratic National Convention) dalam rangka pemenangan
Pilpres AS 2016 silam.
Klausul sanksi dan
ilustrasi di negeri Paman Sam menggambarkan penyadapan adalah kejahatan serius.
Penyadapan tidak bisa ditolerir karena merusak hak privasi berkomunikasi
seseorang yang diatur oleh konstitusi. Bahkan negara tidak boleh serampangan
menyadap.
Lantas, bagaimana bisa
Ahok dan penasihat hukumnya bisa bersikap pongah ketika telah melanggar hukum?
Terlebih hal itu dinyatakan di depan sidang pengadilan yang mulia pula? Mau
berkelit? Salah omong? Astaga! Bukankah setiap pertanyaan penasehat hukum di
persidangan selalu dilandasi keabsahan tertentu? Pengadilan bukan warung kopi
di mana segala ucapan bisa serampangan dan lantas dilupakan. Jika demikian pemaknaannya,
melempar isu lantas meminta maaf, di mana penghargaan kepada persidangan yang
mulia? Di manakah kewarasan hukum? Atau jangan-jangan opini publik bahwa ada
kekuasaan besar yang membeking Ahok benar adanya?
Untuk menenangkan
kecemasan publik akan ancaman penyadapan, aparat hukum harus bertindak. Harus
jelas dari siapa Ahok dan penasihat hukumnya mendapat konten rekaman itu? Jika
dari aparat keamanan dan provider telekomunikasi, artinya menjadi ranah hukum
kepolisian. Sementara bila bocoran berasal dari data intelejen BIN, maka
Presiden Jokowi harus turun tangan.
Post a Comment