Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Mau Dukungan AHY-Sylvi, Ahok dan Anies Bertobatlah Dahulu!


Politik itu memang unpredictable. Tidak ada yang pasti sampai peluit pertandingan berakhir. Pilkada DKI Jakarta tempo hari menjadi saksi. Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (AHY-Sylvi) yang diunggulkan oleh sejumlah survei sampai awal tahun harus menelan pil pahit. Malah Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Syaiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno melaju ke putaran kedua.
Kegagalan AHY-Sylvi melaju ke putaran kedua sudah membayangi ketika serangan-serangan Ahoker begitu intens kepada keduanya. Awalnya serangan menghantam AHY. Dia “dibunuh” karakternya melalui operasi “tentara ingusan”, serta tudingan SBY membayar kelompok radikal untuk menendang pantat Ahok ke penjara.
Awal tahun, giliran Sylvi yang diserang. Lewat tangan-tangan aparat keamanan pula. Gde Sarjana, suami Sylvi, diperiksa terkait kasus makar. Entah dari mana muasalnya, Sylvi diperiksa keterlibatannya dalam kasus dugaan korupsi masjid dan dana bansos. Awal Februari, menjadi puncak serangan bagi SBY. Mulai dari fitnah sebagai tokoh pemecah-belah bangsa, penyadapan ponsel, sampai kesaksian Antasari Azhar pada jam-jam terakhir sebelum pemungutan.
Ada satu benang merah dari operasi menjegal AHY-Sylvi di Jakarta, yakni semua tema beraroma kedekatan dengan kelompok Islam radikal. Ahoker baik, yang resmi maupun yang tidak, membangun citra bahwa AHY-Sylvi adalah paslon tajir yang menunggangi kelompok Islam radikal untuk memenangkan Pilkada Jakarta. Bahkan Fatwa MUI ditelikung sebagai skenario pemenangan AHY-Sylvi. Ini jelas fitnah keji. Pada akhirnya, suara umat Islam justru jatuh ke bahu Ahok-Djarot dan Anies-Sandy.
Pertanyaan besarnya, di manakah posisi Anies-Sandy ketika segala fitnah selama 3,5 bulan ini menghantam Agus-Sylvi? Rupanya Anies-Sandy diam saja. Anies-Sandy sama sekali tidak tergugah untuk meluruskan kampanye hitam itu, justru memanfaatkannya untuk mendulang suara pemilih. Ambil contoh ketika AHY-Sylvi disebut-sebut dekat bahkan menunggangi Front Pembela Islam (FPI), justru Anies-Sandy yang datang bersilaturahmi ke Petamburan.
Ada rahasia umum dalam Pilkada Jakarta tempo hari. Ada peraturan tidak tertulis agar Agus-Sylvi dan Anies-Sandy tidak saling menyerang secara frontal. Pasalnya, mereka adalah paslon umat Islam. Pertempuran keduanya dikhawatirkan akan memecah belah umat, membuat suara umat Islam akan bedol desa ke Ahok-Djarot. Pilihan umat hanya dua, yang tidak suka dengan Agus-Sylvi bisa memilih Anies-Sandy, dan sebaliknya.
Nyatanya, hal ini tidak diindahkan. Bukan hanya tim pemenangan Anies-Sandy yang melakukannya, bahkan sekaliber akun resmi Twitter Partai Gerindra tercatat menyebarkan kampanye hitam kepada Agus-Sylvi. Jadi, kalau kemudian Ahok-Djarot berhasil menyerang suara umat Islam yang signifikan, ini tidak bisa dilepaskan dari kesalahan Anies-Sandy. Paslon nomor urut 3 bukan hanya tidak meluruskan fitnah-fitnah yang terjadi, malahan turut memproduksi fitnah bagi AHY-Sylvi.
Ironisnya, Agus-Sylvi tetap berpegangan pada peraturan tidak tertulis itu. Mereka bertahan dan menyerang balik atas fitnah-fitnah yang diproduksi Ahoker. Sebaliknya, untuk serangan Anies-Sandy, Agus-Sylvi sekadar melakukan strategi bertahan. Agus-Sylvi tidak ingin memperparah manipulasi publik yang dilakukan Ahoker, bahwa mereka adalah paslon sumber perpecahan dengan menyerang Anies-Sandy habis-habisan. Akibatnya, sungguh dahsyat. Elektabilitas Agus-Sylvi melorot drastis. Suara umat Islam pendukung Agus-Sylvi diperkirakan lari kepada Ahok-Djarot dan Anies-Sandy akibat fitnah-fitnah murahan ini.
Kini, setelah jelas siapa yang masuk ke putaran kedua, strategi pun berubah. Barisan pendukung Ahok-Djarot dan Anies-Sandy mendadak genit kepada AHY-Sylvi. Terjadi politik jilat ludah dengan tagar #mendadakAHY. Puji dan sanjung bertebaran atas pidato kekalahan AHY. Program-program AHY-Sylvi yang dahulu dituding halusinasi mendadak menemukan pembenaran, mendadak bisa direalisasikan oleh Ahok-Djarot dan Anies-Sandy. Bahkan upaya memirip-miripkan visi-misi Partai Demokrat dengan PDIP dan Gerindra mendadak dilantangkan ke ruang publik.
Tidak tepat rasanya hanya karena gagal melaju ke putaran kedua, maka AHY-Sylvi diwajibkan untuk mendukung salah satu kandidat. Memang sudah bisa dipastikan, paslon manapun yang didukung AHY-Sylvi akan gol menjadi Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta 2017-2022. Tetapi perpindahan suara tidak bisa segampang itu.
Ini bukan masalah sakit hati atau baper, ini adalah perihal konsistensi untuk membangun budaya politik bersih dan putih. Bahwa, politik yang unpredictable itu, tetapi tidak perlu pula sampai bar-bar. Etika dan moralitas sudah seharusnya menjadi panduan dalam aktifitas politik; dalan event apapun juga. Hal ini yang telah dilanggar oleh Ahok-Djarot dan Anies-Sandy.
Jikapun Ahok-Djarot dan Anies-Sandy masih ngotot, saya sarankan mereka melakukan pertobatan. Akui bahwa mereka telah menerapkan politik bar-bar sepanjang 3,5 bulan kampanye silam. Akui kalau mereka telah menzalimi AHY-Sylvi. Mintalah maaf secara tulus kepada paslon dan pendukungnya yang dihantam tsunami fitnah ini. Baru kemudian, komunikasi untuk membangun koalisi dapat berlangsung pada titik nol, pada titik di mana kita sepakat untuk membangun sistem politik yang berkeadaban.
Tanpa taubat ini, yang akan terjadi adalah koalisi pemaksaan; koalisi yang didorong untuk memilih yang buruk diantara yang terburuk. Ini cerita lama. Saya pikir AHY-Sylvi dan pendukungnya enggan terjebak dengan desakan recehan seperti ini.
pernah dimuat di politiktoday

Tidak ada komentar