Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Utak-Atik Kritik Mantan Presiden


Pada tanggal 28 November 2016 yang lalu, Presiden RI ke 6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menulis di media massa. Judulnya “Pulihkan Kedamaian dan Persatuan Kita”. Isinya, sebagaimana kita pernah membaca tentu saja, saran dan pandangan terhadap pemerintahan Jokowi. Dalam tulisannya itu SBY membahas perihal memburuknya situasi sosial dan politik Indonesia belakangan ini, sekaligus memaparkan solusinya.

Banyak kalangan yang menilai Mantan Presiden sedang melanggar etika politik saat mengritik Presiden yang berkuasa. Sebagian yang lain, menudingnya telah terjangkit post power syndrom. Ada pula yang kemudian menudingnya hendak memanas-manasi suasana. Saya pikir penilaian ini berlebihan. Ada beberapa hal yang melandasinya.

Pertama, saran dari mantan presiden kepada presiden adalah hal biasa. Di Indonesia, budaya memberi saran kepada presiden oleh mantan presiden juga begitu. Bukan hal baru.  Gus Dur tercatat pernah menyarankan Megawati agar bertindak lebih tegas terkait penanganan konflik di Aceh.

Era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) apalagi. Dua periode menjabat presiden, SBY lumayan kenyang akan saran dan pandangan yang dilontarkan Megawati. Dua kritikan legendaris Megawati terhadap pemerintahan SBY adalah kiasan yoyo dan poco-poco. Terkait kenaikan BBM misalnya, Megawati menilai pemerintah seperti menjadikan rakyat seperti permainan yoyo yang naik turun, dan di lempar ke sana ke mari. Sebelumnya, Mega juga menyebut pemerintahan SBY sebagai pemerintahan poco-poco, pemerintahan yang maju mundur, tidak jelas.

SBY pun demikian. Pada waktu-waktu tertentu, ia pun memberi catatan kritis terhadap pemerintahan Jokowi, mulai dari soal karut marut PSSI dan sepakbola nasional, kereta cepat Jakarta Bandung, subsidi untuk rakyat, sampai situasi sosial-politik menjelang gerakan 4 November.

Kedua, memberi saran kepada pemerintah adalah hak warga negara. Apakah hak memberi saran kepada pemerintah lenyap selepas seorang presiden mengakhiri masa jabatannya? Jika iya, hal itu ibarat hidup di era Tiongkok kerajaan. Para mantan kaisar dikirim ke kuil oleh Kaisar yang berkuasa, dan dikucilkan dari dunia luar. Betapa malangnya.

Pemerintahan di negara-negara demokrasi tidak demikian. Mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad kerap memberikan saran kepada penggantinya, Abdullah Ahmad Badawi, selepas dirinya berhenti dari posisi PM Malaysia.

Di Filipina, mantan presiden Fidel Ramos menyebut Presiden Rodrigo Duterte karena mengutamakan perang terhadap narkoba dengan mengorbankan isu-isu penting lainnya, seperti kemiskinan, biaya hidup, investasi asing dan pekerjaan.

Fenomena ini juga terjadi di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam, baru-baru ini Obama menegaskan akan mengritik presiden terpilih Donald Trump. Ia akan mengritik pemerintah terkait isu-isu tertentu, terutama yang berhubungan dengan nilai dan cita-cita Amerika.

Bagi Obama, kritik ini adalah bentuk kepeduliannya terhadap negara, merupakan haknya sebagai warga biasa untuk membela negara. Pernyataan ini disampaikannya bahkan sebelum Trump resmi menjadi penghuni Gedung putih. Sebelumnya Bush juga pernah kedapatan mengritik Obama Kebelakang lagi, Clinton pun pernah mengritik Bush.

Jika ditarik dalam Indonesia kekinian, hal serupa juga cocok. Seorang mantan presiden jelas memiliki kecakapan dan pengalaman kenegaraan yang luas dan bernas untuk memberikan pandangan dan saran kepada pemerintah. Masukan itu bisa memperkaya landasan presiden yang berkuasa untuk mengambil keputusan. Dalam kondisi-kondisi tertentu, meminjam istilah Obama, jika terkait dengan nilai dan cita-cita negara, justru menjadi kewajiban bagi seorang mantan presiden untuk memberikan pandangannya.

Ketiga, selepas reformasi, mantan presiden Indonesia adalah politisi parpol. Mereka memiliki jabatan strategis di parpolnya masing-masing. Habibie (Golkar), Gus Dur (PKB), Megawati (PDIP) dan SBY (Demokrat). Sebagai fungsionaris parpol mereka berkewajiban untuk mengawal garis perjuangan parpol, termasuk mengritik kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan program perjuangan penyejahteraan rakyat yang telah dirumuskan oleh parpol. Sudah menjadi kewajiban seorang fungsionaris parpol untuk memberikan saran dan pandangan kepada pemerintah, baik secara langsung maupun melalui parpolnya.

Berpijak pada tiga landasan ini, menurut saya mantan presiden yang memberi saran kepada pemerintah jangan dinilai sebatas tukang recok. Malahan, saran tersebut merupakan upaya konstruktif untuk memperkuat pemerintahan. Pemerintah bisa mengambil nilai-nilai positif yang terkandung di dalam saran dan pandangan itu untuk membenahi dan memperkuat kebijakan-kebijakannya.


Tidak ada masalah dengan mantan presiden yang memberi saran atau mengritik pemerintah. Yang jadi masalah ketika presiden menjadi alegi apalagi anti kritik

Tidak ada komentar