Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

AHY, Mundur Selangkah untuk Melompat Tinggi


Ada yang menarik seusai pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta. Kendati KPU Jakarta belum mengumumkan hasil resmi, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) secara ksatria, dengan lapang dada dan terbuka mengakui kekalahannya dalam pilkada DKI Jakarta. AHY atas nama pribadi, dan pasangan cawagubnya Sylviana Murni, juga berterimakasih sekaligus memohon maaf kepada pendukung dan konstituennya karena belum berhasil memenuhi harapan mereka. Harapannya, siapapun yang terpilih sebagai pemimpin DKI Jakarta kelak dapat meneruskan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada kebahagiaan dan kesejahteraan lahir dan batin masyarakat Jakarta.
Pidato AHY patut diapresiasi di era konstestasi politik Indonesia yang lazim menolak kekalahan. Biasanya politisi yang kalah berkilah kalau dirinya dicurangi. Karena haqul yakin ini, dahulu MK sempat kebanjiran perkara gugatan pilkada. Namun, kesan ini tak tampak selama saya menyaksikan pidato kekalahan AHY. Pidato AHY amat baik; tenang, terang, tulus dan bernas. Ke depannya, saya pikir, apa yang dilakukan AHY patut dijadikan contoh bagi pelaksanaan kontestasi pemilu di tanah air.
Perilaku AHY yang menelepon secara pribadi para kompetiitornya untuk mengucapkan selamat juga amat menggembirakan. Perilaku ini adalah konkrititas idealisme, komitmen serta nilai-nilai yang dianut seorang pemimpin. AHY tidak pernah menganggap para Basuki Tjahaya Purnama dan Anies Baswedan sebagai musuh, sehingga segenap yang terjadi selama proses Pilkada harus dijadikan masalah personal. Bagi AHY, paslon kompetitor ibarat lawan dalam pertandingan sepak-bola. Kalah-menang tenun persaudaraan tidak boleh terkoyak. Betapapun, esensi pilkada adalah untuk kebaikan rakyat. Rakyatlah sang pemutus, bukan paslon. Rakyat tidak akan salah.
Kekalahan bukan kiamat. Dalam politik, kekalahan hanya satu instrument untuk melakukan evaluasi; suatu cara agar kemenangan di hari kelak semakin manis. Semua ada hikmahnya. Banyak politisi sukses setelah dihantam kekalahan berulang-ulang. Salah satunya Abraham Lincoln. Abraham pernah kalah ketika mencalonkan diri sebagai anggota kongres, lalu anggota senat, sebelum akhirnya terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat yang paling diteladani.
Tidak perlu berkecil hati pada kekalahan yang terbit dari sepenuhnya kerja keras. Publik Jakarta, dan bahkan Indonesia menjadi saksi, betapa kerja keras tim pemenangan AHY-Sylvia Murni selama 4 bulan terakhir tidak sia-sia. Dalam posisi ini, Pilkada Jakarta ibarat kawah candradimuka yang menempa dan membakar karakter dan kompetisi kepemimpinan AHY menjadi semakin masak. AHY yang dibully sebagai “anak ingusan” sempat menjadi pemuncak survei-survei politik. Strategi komunikasi AHY-Sylvi menjadi tren setter baru, diadopsi oleh banyak paslon dalam pilkada di daerah-daerah lain. AHY effectmenular ke seantero nusantara.
Sebagai pendatang baru dalam jagad politik nusantara, perolehan 17 % suara AHY-Sylvi pun tidak terlalu mengecewakan. Tanpa bermaksud mengecilkan para politisi senior, pencapaian itu jauh lebih besar ketimbang Alex Noerdin-Nono Sampono (4,67%) atau Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini (11,72%) di Pilkada Jakarta 2012.
Lagipula usia AHY masih muda, baru 38 tahun. Dia masih punya cukup waktu. Masih tersedia ruang-ruang pengabdian lainnya, baik dalam bidang politik maupun non politik. Paska Pilkada DKI Jakarta, modal sosial-politik AHY semakin kaya. Modal ini sehingga semakin memperkuat pilihan hidup AHY; mendarmabaktikan diri untuk terus memajukan bangsa dan negara tercinta ini menuju Indonesia emas di tahun 2045.
Last but not least, menurut saya, bagi AHY, Pilkada DKI Jakarta bukanlah kekalahan yang sia-sia. Ada bonus yang didapat oleh AHY-Sylvi dan pendukungnya dalam kontestasi pemilu terbesar setelah Pilpres dan Pileg itu. Jadi lebih tepat disebut, mundur selangkah untuk melompat tinggi. Pertanyaannya sekarang, akan ke mana AHY melompat?
pernah dimuat di kumparan

Tidak ada komentar