Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Pilkada, SBY, dan Megawati + Jokowi Digabung Jadi #1

Rabu (15/2/2017) malam, dengan ksatria Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengakui kekalahannya dalam Pilkada DKI Jakarta. Pidato AHY itu jernih, santun, bernas dan sekaligus sarat semangat –jangan takut gagal untuk berbuat yang terbaik bagi bangsa dan negara. Kekalahan yang manis ini, karena lahir dari proses perjuangan putih, ternyata tidak menyenangkan semua pihak. Salah satu opini yang dibangun adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah tidak bertangan emas.
Terlalu pagi untuk menisbatkan “kesaktian” SBY sudah luntur. Apalagi hanya berbasiskan Pilkada DKI Jakarta. Pasalnya, Pilkada Serentak 2017 dihelat di 101 daerah; 7 di antaranya di tingkat propinsi. SBY adalah Ketua Umum DPP Partai Demokrat, maka keberhasilannya harus dilihat dari kacamata nasional.
Berbasiskan data Komite Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat, keberhasilan Demokrat mencapai 49 persen dari 35 persen yang ditargetkan. Demokrat memenangi 46 Pilkada, termasuk unggul di 4 pilgub, yakni Aceh, Banten, Sulawesi Barat dan Gorontalo. Luarbiasanya, sekitar 60 persen dari kandidat yang terpilih adalah kader internal Demokrat.
Bandingkan dengan PDIP yang mengklaim unggul di 57 daerah. Padahal PDIP adalah parpol penguasa. PDIP memiliki ruang besar untuk menjadikan keberhasilan pemerintahan sebagai instrument pendulang suara Pilkada. Nyatanya, hasilnya mengecewakan. Terlebih jika dibandingkan dengan Demokrat yang jabatan tertinggi kadernya dalam pemerintahan sebatas Wakil Ketua DPR.
Hal ini mengandung tiga sinyal penting. Pertama, Demokrat lebih berhasil ketimbang PDIP dalam upaya konsolidasi seluruh kekuatannya. Tanpa seorang kader pun di kursi pemerintah, Demokrat sanggup mendorong segenap kader untuk berpartisipasi aktif dalam hajatan Pilkada Serentak 2017. Sebaliknya, status sebagai parpol penguasa gagal membuat PDIP menjadi parpol yang paling bersinar. Saya haqul yakin, sekiranya PDIP bukan parpol penguasa, kemenangan itu akan melorot lagi.
Kedua, masyarakat lebih puas dipimpin SBY ketimbang Jokowi. Kinerja pemerintah Jokowi-JK lebih acak-aduk ketimbang SBY. Kekecewaan masyarakat ini bukan omong-kosong. Pemerintahan Jokowi adalah era kabinet gaduh dan kebijakan blunder. Masyarakat akhirnya mengekspresikan kekecewaan dengan menolak paslon-paslon PDIP yang maju Pilkada. Sebaliknya paslon-paslon Demokrat relatif lebih bisa diterima, kendati harus bertubrukan dengan keterbatasan modal dan indikasi intervensi penguasa untuk memenangkan kandidatnya.
Ketiga, AHY Effect vs Ahok Effect. Tidak bisa disangkal, jagoaan PDIP di Jakarta ini adalah biang kegaduhan. Jutaan umat Islam menggugat “hak istimewa” yang disandang Basuki Tjahaya Purnama sehingga ia seakan kebal hukum. Karena bukan pemilih Jakarta, publik yang geram akhirnya menghukum Ahok dengan cara menolak paslon-paslon PDIP di daerahnya.
Jika Ahok Effect bersifat negatif, maka AHY Effect relatif positif. Sebagai “anak ingusan” dalam belantara politik Jakarta, AHY-Sylvi sukses mendulang dukungan nyaris sejuta pemilih. Publik pun sama-sama paham, sekiranya tidak ada parade fitnah terhadap AHY-Sylvi + SBY, terutama kesaksian Antasari Azhar di jam-jam pemungutan suara, hasil Pilkada DKI Jakarta akan berbeda.Tetapi sudahlah!
Yang jelas, dalam tempo 3,5 bulan popularitas AHY meroket di mata publik nasional. Publik nasional telah menilai AHY sebagai sosok yang fresh, santun, cerdas, dan tegas. Dia disebut-sebut sebagai kandidat pemimpin bangsa ke depan. Buktinya, ketika AHY tersandung dalam Pilkada Jakarta, dukungan dari seantero Nusantara menderas.
AHY Effect adalah sejarah baru dalam politik nasional. Belum pernah seorang pendatang baru bisa mendulang popularitas nasional sebesar AHY. Bahkan Jokowi butuh bertahun-tahun untuk bisa menciptakan Jokowi Effect yang dirintisnya sejak menjabat Walikota Solo. Apa yang dialami AHY juga berbanding terbalik dengan Ahok. Konon Ahok bersiap-siap banting stir menjadi penguasa berbasiskan Indonesia dan daratan Tiongkok seumpama kalah dalam Pilkada Jakarta.
Siapa yang berada dibalik keberhasilan ini kalau bukan SBY? Dari sini, saya pikir terlalu pagi jika menilai SBY sudah tidak bertangan emas. Kepiawaian SBY dalam berpolitik masih lebih tinggi ketimbang Megawati+Jokowi digabung menjadi satu.

Tidak ada komentar