Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

SBY di Antara Pusaran Media Partisan


Ada tiga pertanyaan penting yang diajukan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu memberi orasi ilmiah pada Puncak Acara Hari Pers Nasional, Rabu (29/3/2017) kemarin. Pertama, adakah media baik cetak maupun elektronik yang terorganisir? Sehingga mereka terlihat melakukan framing pemberitaan yang tak lagi spontan berdasarkan fakta, namun menjadi corong pihak tertentu.
Kedua, adakah media yang terpengaruh dari pemilik modal sehingga melakukan pemberitaan pijak angkat –memijak satu pihak dan mengunggulkan pihak tertentu. Dan terakhir, adakah pengaruh kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun kekuasaan bisnis dan uang, yang membuat media jauh dari sikap independen, sebaliknya, sangat berpihak pada corong mereka yang memiliki kekuasaan baik politik maupun uang.
Kalau mau jujur, kita akan mengakuinya. Kendati ada kode etik bahwa pemberitaan harus fair dan balanced, dalam praktiknya keberpihakan selalu ada. Terlebih jika pemilik dan pemimpin redaksi memiliki kepentingan politik, termasuk politik kekuasaan. Kian hari, kian kita dapati media massa dan pers melakukan tebang pilih secara telanjang.
Menariknya, jika dicermati ada perbedaan mendasar framing pemberitaan dewasa ini. Dahulu, di era pemerintahan SBY, media massa terkesan memegang prinsip good news is no news. Sehingga komentar kritis dan pedas terhadap pemerintah, lazimnya mendapat tempat “terhormat”. Kerap  menjadi headline. Beritanya bisa bertahan berhari-hari. Sebaliknya, klarifikasi pemerintah diberi ruang relatif sempit. Bahkan kerap tidak dimuat, atau dimuat tetapi konten informasinya dipelintir.

Hari ini, polanya terbalik. Good news is news. Ada kesan media massa amat mem-back-up pemerintah. Tokoh-tokoh pendukung pemerintah diberi tempat terhormat. Sebaliknya, tokoh-tokoh oposisi diberi ruang ala kadarnya. Intensitasnya pun kentara lebih menguntungkan pemerintah. Kita tentu masih ingat pemberitaan Jokowi sebagai kepala pemerintahan terbaik se-Asia Pasifik yang disiarkan beramai-ramai oleh media massa. Padahal berita Bloomberg yang dilangsir sama sekali tidak menegaskan hal itu.
Mari kita buka riset Isson Khairul, seorang peneliti media, ikhwal frekuensi pemberitaan Basuki Tjahaya Purnama dan Anies Baswedan di Tempo.co dan Kompas.com pada tanggal 15 Februari 2017. Pada hari pemungutan suara itu, dari 351 content di Tempo.co, terdapat 33 konten terkait paslon Ahok-Djarot, sementara porsi Anies-Sandi hanya 12 konten. Untuk kompas.com diketahui paslon Ahok-Djarot mendapat ruang sebesar 20 konten, sementara Anies-Sandi hanya 7 konten. Kendati tidak disebut, kita maklum pemberitaan Agus Harimurti Yudhoyono tentu lebih minim lagi.
Kita pun paham siapa yang ada di belakang Ahok. Kita bisa memetakan siapa elit-elit politik yang saat ini duduk di singgasana media massa. Dan jika dicermati, kita pun akan mampu membaca arah agenda setting tersebut.
Media massa yang partisan telah menjebak publik dalam persepsi tunggal. Ini memicu terbitnya portal-portal media online yang berbasis jurnalisme warga. Karenanya, kita wajib berterimakasih dengan eksistensi portal-portal media online ini. Mereka telah menjadi media alternatif yang mendobrak permainan agenda setting elit-elit media.
Tak ada gading yang tak retak. Portal-portal jurnalisme warga pun memiliki pekerjaan rumah; menyediakan informasi yang jujur dan akurat. Pasalnya, demi mengejar traffic atau sikap fanatisme, kerap kali  portal-portal jurnalisme warga terjebak menjadi media penyebar hoax dan fitnah.
Fenomena ini telah menyebabkan kegoncangan informasi publik. Adalah benar kalau ada yang menyebut demokrasi Indonesia set-back, atau carut-marut. Pergesekan sosial-politik di kalangan elit turun ke kalangan akar rumput. Keresahan publik terbit. Energi negatif menguar. Muaranya, produktifitas anak bangsa terganggu. Ini harus cepat ditangani. Ini tidak bisa dipisahkan dari tergerusnya independensi media.
Tragisnya, baik di masa lalu ketika media massa amat berkuasa, atau di masa kini saat portal jurnalisme warga merasa jumawa, tetap saja SBY menjadi korban. Pada titik-titik tertentu, semacam tudingan menjadi provokator umat Islam, pengerudukan kediaman oleh massa mahasiswa, sampai inisiator kriminalisasi Antasari Azhar; media massa dan portal jurnalisme berkomplot menghabisi SBY. Pemberitaan berat sebelah! Tebang pilih!
Saya yakin, SBY memiliki kesiapan mental diserang dan dihajar oleh media -sebagaimana kesiapannya untuk dibully habis sewaktu memutuskan aktif di twitter dan facebook. Tetapi sebagai anak bangsa, tentu ada yang salah saat menyaksikan perlakuan tidak beradab terhadap Presiden ke-6 RI. Terlebih, jika seorang SBY bisa “dihabisi” apalagi orang awam seperti saya.
Tetapi sebagaimana ditegaskan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dalam ajang Indonesia Lawyers Club; demikian keriuhan demokrasi kita saat ini. Betapapun sulitnya, seberat apapun persoalan, solusinya selalu tersedia. Optimisme harus terus dibangun. Tetapi hanya optimisme yang didasari oleh pengakuan dan pemahaman atas masalah yang akan mengalir pada tindak-lanjut pembenahan. Tanpanya, optimisme hanya berhenti pada titik menyelesaikan masalah dengan masalah, atau mengalihkan masalah.
Sebagai penutup, ada baiknya saya mengutip pernyataan pamungkas SBY dalam orasi ilmiah peringatan hari pers 2017 tempo hari.
“Yang diperlukan saat ini barangkali adalah kesadaran bersama kita, kemauan kita dan keberanian kita untuk melakukan segala kebaikan bagi negeri tercinta, utamanya untuk anak cucu kita di masa depan.”
Pertanyaannya, maukah kita?

Tidak ada komentar