Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Megawati Baper? Ah, Sudahlah!


Kekalahan di Pilpres 2004 ternyata menyisakan luka mendalam di hati Megawati Soekarnoputri. Waktu itu, kemenangan Megawati-Hasyim Muzadi dikandaskan ketangguhan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) mendulang suara rakyat. Mega lantas berandai-andai. Sekiranya pada Pilpres 2004 rakyat masih memercayainya, keadaan Indonesia tidak akan seperti ini. Sekarang, menurut dia, rakyat sendiri yang menangis dan menyesalinya.
Tanggapan saya atas pernyataan Mega ini hanya satu, Presiden ke-5 RI sedang baper (baca: terbawa perasaan). Karenanya, ia terbawa perasaan dan gagal menganalisis secara rasional atas ketidakpercayaan rakyat kepada dirinya. Ini bisa dianalisis dari penyelenggaraan tiga pilpres terakhir.
Pertama, pilpres 2004. Mula-mula perlu dipahami. Ketika seorang petahana gagal mendulang suara pada pemilu periode berikutnya, artinya telah terjadi krisis kepercayaan rakyat kepadanya. Hasil  Pilpres 2004 adalah bentuk hukuman rakyat atas kinerja Megawati yang dinilai mengecewakan. Analisisnya amat sederhana. Jika rakyat puas, mengapa suara pemilih mayoritas malah jatuh ke pundak SBY-JK.
Padahal, konstelasi Pilpres 2004 amat tidak imbang. Saat itu, SBY dan JK adalah new comers. Mereka muncul belakangan. Yang jauh-jauh hari sudah memanjat kursi RI 1 adalah Wiranto, Akbar Tandjung dan Prabowo (Golkar), Amien Rais (PAN), dan barangkali Hamzah Haz (PPP). Mega ada di posisi puncak sebagai presiden petahana, sekaligus Ketua Umum PDIP-parpol pemenang no 2 dalam Pileg 2004 (18,53%). Setelah memenangi konvensi Partai Golkar, Wirato maju capres dengan dukungan 21,58% suara nasional.
Sementara Partai Demokrat hanya berada pada peringkat 5, yakni memperoleh suara nasional sebesar 7,45%. Untuk mendapat tiket Pilpres, Partai Demokrat berkoalisi dengan partai papan bawah, yakni PBB dan PKPI dengan total 11 persen suara nasional.
Nyatanya, SBY-JK sukses menjadi pemuncak dengan dukungan 33,57% suara nasional. SBY-JK mampu mengalahkan suara golput dengan selisih 6.174.508 suara (5,203 persen) diatas total suara golput.  Ini bukti bahwa kehadiran SBY-JK membawa angin segar bagi para pemilih yang selama ini apatis dengan situasi dan kondisi perpolitikan nasional.
Konstelasi parpol pada putaran II Pilpres 2004 lebih tidak seimbang. Koalisi kerempeng harus berhadapan dengan koalisi besar.  SBY-JK hanya mendapat tambahan dukungan dari PKS, sehingga total dukungan suara hanya 17%. Sementara Mega-Hasyim mendapat dukungan tambahan dari Partai Golkar, sehingga total dukungan menjadi 40 % suara nasional. Hasilnya, SBY-JK  sukses mendulang 60 % suara, sementara Megawati-Hasyim harus kalah karena hanya mendapat sekitar 40 %.
Kedua, Pilpres 2009. Ketika itu, konstelasi politik sudah berbeda. SBY berhasil membangun citra positif di mata publik. Imbasnya, suara Partai Demokrat melesat menjadi  20.85%. Sebaliknya, suara Golkar dan PDIP terjun bebas, masing-masing di angka 14.45% dan 14.03%. Pada Pilpres 2009, SBY-Boediono berhasil mendulang suara sebesar 60,8%, jauh melebihi  Megawati-Prabowo (26,79%)  apalagi JK-Wiranto (12,41%). Dengan demikian Pilpres 2009 hanya berlangsung satu putaran.
Ketiga, pencapaian SBY pada Pilpres 2009 tidak bisa dikejar oleh Jokowi-Jk pada Pileg 2014 yang kompetisinya berlangsung head to head. Pendukung Jokowi boleh saja gembar-gembor Jokowi effect, bahwa Jokowi adalah fenomenal sehingga dicintai dari Sabang sampai Merauke. Faktualnya Jokowi-JK hanya mampu mendulang 53,15%. Sementara, paslon Prabowo-Hatta Rajasa yang memperoleh suara sebesar 46,85 %.
Kesimpulan dari ketiga ilustrasi ini; pernyataan Megawatiadalah  satu bentuk baper. Setelah 13 tahun berlalu, dia masih belum ikhlas akan kegagalannya pada Pilpres 2004. Megawati gagal move on. Sebenarnya, perasaan semacam ini sah-sah saja. Kekalahan memang menyakitkan. Tetapi yang tidak masuk di nalar saya adalah ketika Megawati terkesan menyalahkan rakyat, lalu mendegradasi pencapaian SBY dengan tudingan rakyat menangis di era pemerintahan SBY.
Padahal, secara logika, jika rakyat tidak percaya pada SBY, akankah dia didaulat pada Pilpres 2004? Jika rakyat tidak pusa dengan kinerja SBY akankah rakyat mengamanatkan kembali suara mayoritas kepada pemerintahan SBY periode kedua?
Sebagai seorang negarawan, pernyataan Megawati patut disesali. Akibat emosi, karena baper, ia sampai menggadaikan sikap kenegarawanannya. Tetapi, tujuannya bukan hanya letupan emosi yang tersendat puluhan tahun. Kebaperan Megawati juga siasat agar masyarakat Jakarta mau membiarkan Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Saifullah meneruskan perintahanan periode keduanya. Sayangnya, akibat pasang badan untuk mereka, sejatinya Megawati telah mencederai sosok kenegarawananya. Sungguh disayangkan.
pernah dimuat di politiktoday.com

Tidak ada komentar