Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Skenario Keji di Balik Mobil Usang Presiden?


Tersentil saya membaca media sehari ke belakang. Dari mobil kepresidan yang mogok saat kunjungan kerja Jokowi, bergeser pada semerbak fitnah terhadap SBY. Mayoritas media mengutip pernyataan Kepala Sekretariat Presiden (Setpres) Darmasjah Djumala yang mengesankan SBY meminjam mobil kepresidenan selama dua tahun. Tragisnya, tanpa terang akar masalah, publik turut menghakimi. Netizen mencaci SBY atas sesuatu yang tidak mereka pahami.
Sebagai seseorang yang berkian tahun mengamati sepak terjang SBY,  hal ini tak masuk nalar saya. Dari perselancaran di dunia siber, saya dapati UU No. 7 Tahun 1978 tentang Hak Keuangan/ Administrasi Presiden dan Wakil Presiden serta Bekas Presiden dan Wakil Presiden. Konten pasal 8 UU tersebut amat terang:  Kepada bekas Presiden dan bekas Wakil Presiden yang berhenti dengan hormat dari jabatannya, masing-masing: a) diberikan sebuah rumah kediaman yang layak dengan perlengkapannya; b) disediakan sebuah kendaraan milik Negara dengan pengemudinya. Kesimpulan saya, SBY hanya korban dari “kesalahan” pemerintah dalam menghargai seorang mantan presiden.
Rupanya, seusai SBY menjabat, ketentuan pasal 8 UU No. 7 Tahun 1978 itu tidak langsung dilaksanakan. Alasannya penghematan anggaran negara. Sebagai pengganti, pemerintah menyerahkan mobil bekas yang dulu digunakan SBY semasa menjabat presiden. Operasional, pengemudi dan tanggung jawabnya berada pada Paspampres yang bertugas mengawal SBY.
Nyatanya, mobil yang kini sudah berumur 10 tahun itu jauh dari kondisi baik. Sudah lama SBY menginginkan mobil itu dikembalikan ke sekretariat negara. Namun, karena punya beban moril, mobil itu diperbaiki lebih dahulu. Sepekan yang lalu, perbaikannya tuntas.
Lantas, kok, bisa-bisanya SBY difitnah? Bukankah SBY adalah pihak yang dirugikan oleh pemerintah? Alih-alih menerima fasilitas kendaraan yang layak, SBY malah mendapat mobil bekas yang kerap bermasalah. Selama dua tahun SBY bersabar. Dia tidak menuntut haknya. Tragisnya, ketika hendak mengembalikan mobil bekas itu, rencananya malah dipolitisir. Siapa yang bermain dalam fitnah keji ini? Ada dua asumsi yang terbayang oleh saya.
Pertama, Kepala Setpres Darmasjah Djumala tidak memahami UU No. 7 Tahun 1978 sehingga silap lidah. Jika benar, tentu amat disayangkan. Bagaimana bisa seorang Kepala Setpres tidak memahami peraturan perundangan-undangan yang terkait tugas, pokok dan fungsinya? Apalagi silap lidah itu telah menggemparkan publik, bahkan mencederai martabat Presiden ke-6 RI. Bukankah sebagai pejabat negara Darmasjah seharusnya berhati-hati dalam berpendapat terkait hal yang sesensitif ini? Tetapi nasi sudah jadi bubur. Solusi tercepat, Setpres meluruskan kesalahan publik ini. Darmasjah harus minta maaf kepada SBY.
Kedua, kegemparan ini adalah setingan. Elit istana tengah memainkan siasat pijak-angkat. SBY dipijak, agar Jokowi bisa meroket. Narasinya kira-kira begini. Untuk pengembalian mobil bekas itu, staf SBY berkomunikasi dengan Setneg. Agar prosesnya sensasional, elit penguasa menyusun skenario mobil presiden mogok. Pihak-pihak tertentu disetir untuk memuluskannya. Tujuannya mendegradasi SBY dari dua sisi. Pertama, SBY telah mewariskan mobil butut kepada Jokowi. Kedua, SBY telah bertindak memalukan karena meminjam mobil negara.
Skenario ini semerbak karena terkesan Setpres dan media telah sengaja penyembunyian informasi penting kepada publik. Pertama, mantan Mensetneg Sudi Silalahi berencana mengadakan mobil kepresidenan baru untuk Jokowi. Alasannya adalah pertimbangan umur kelayakan mobil kepresidenan. Faktanya, Jokowi malah membatalkan lelang tersebut. Jadi, kalau sekarang Jokowi menumpangi mobil bekas yang kerap mogok, ini adalah kesalahannya sendiri. Boleh jadi, penyembunyian informasi pembatalan ini adalah upaya mengalihkan perhatian publik. Sehingga kelak saat Jokowi membeli mobil kepresidenan baru, publik tidak akan mencemooh.
Kedua, ketentuan pasal 8 UU No. 7 Tahun 1978 sengaja tidak diungkap kepada publik berbarengan dengan berita sensasional itu. Padahal jika Setpres sigap, kegemparan publik dapat dicegah. SBY tidak akan tertimpa hujan caci-maki.
Pola serangan ini mengingatkan saya pada moment serah-terima rumah kediaman SBY di kawasan Kuningan tempo hari. Setneg sampai mengundang banyak jurnalis. Lantas, dengan pelbagai sudut pandang berita itu ditulis. Lalu kegemparan publik terjadi. Lalu netizen mencaci-maki SBY. Bahwa seorang mantan presiden masih meminta dan menggunakan fasilitas negara.
Padahal penyerahan rumah itu adalah amanat UU; sama seperti yang diterima oleh mantan-mantan presiden lainnya. Nyatanya, peraturan perundang-undangan itu terkesan sengaja tidak dinyaringkan.
Persis seperti kejadian mobil usang kali ini. Entah jika pelakunya adalah elit penguasa yang sama?
pernah dimuat di politiktoday.com

Tidak ada komentar