Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Jokowi Undercover, Seharusnya Buku Berbalas Buku


Tidak ada masalah dengan penangkapan Bambang Tri , penulis buku “Jokowi Undercover”. Sebagai warga negara, Bambang tunduk dan patuh pada peraturan perundang-undangan. Termasuk dugaan setumpuk fitnah yang terkandung dalam buku itu.
Bambang dijerat dijerat UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE), UU Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis, dan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa. Berdasarkan sangkaan ini maka desas-desus bahwa Bambang dilaporkan atas pencemaran nama baik perseorangan putus sudah. Sebelumnya santer jika Bambang ditahan akibat pelaporan Michael Bimo Putranto dan Hendropriyono. Namun, apakah pemerintah sampai harus sekeras itu menghadapi sepotong buku?
Blunder Aparat
Polisi boleh saja berkilah bahwa “Jokowi Undercover” ditulis tanpa data primer dan sekunder yang dapat dipertanggungjawabkan.Tetapi bukan di sana masalahnya. Bambang tidak menjual data, ia menjajakan opini yang kebetulan bertabrakan dengan apa yang diketahui publik. Opini ini tidak akan lenyap dengan memberangus buku. Kecuali ketinggalan zaman, pencegatan opini dengan memberangus buku tergolong lemah faedahnya.
Ketika “Jokowi Undercover” terbit, publik tidak terlampau kaget. Publik menilai tulisan Bambang itu sebagai hoax yang dibukukan. Kita tahu di era menderasnya hoax ini, masih banyak tudingan dan fitnah terhadap Jokowi yang lebih pedih ketimbang “Jokowi Undercover”.
Apalagi “Jokowi Undercover” tidak beredar di toko buku mainstrem. Ia dijajakan secara siber. Padahal, netizen Indonesia relatif enggan membeli informasi berbayar. Produk buku yang dijajakan kormersil di dunia siber biasanya merupakan karya penulis-penulis papan atas. Selebihnya adalah suatu penghargaan atas kawan yang menulis suatu buku. Maka tak heran bila penyidik polisi memperkirakan jumlah JU yang sudah beredar hanya berkisar 200-300 eksemplar. Dengan situasi ini sejatinya pemerintah tidak perlu memusingkan “Jokowi Undercover”.
Justru saat Bambang ditangkap, publik pun heboh. Penasaran mencuat. Polisi bisa menghimbau publik untuk menyerahkan buku itu kepada polisi, atau mengancam mereka yang menjajakannya. Tetapi tidak dapat membendung peredarannya. Malahan, “Jokowi Undercover” bertansformasi dari buku fisik menjadi ebook. Sekarang, link download gratisnya tersebar di ribuan group WhatsApp.
Artinya, polisi telah gagal memahami karakter masyarakat dan perkembangan teknologi informasi. Upaya menegakan marwah Presiden, malah memasifkan peredaran “Jokowi Undercover”. Bahkan, protes publik juga sudah bergeser menjadi prasangka kepada Presiden.
Mulai muncul tuntutan agar Presiden Jokowi melakukan test DNA untuk mengklarifikasi kebenaran versi “Jokowi Undercover”. Ada pula yang sudah merekomendasikan pemerintah membentuk tim khusus untuk menelisik asal-usul Jokowi. Blunder!
Belajar Dari Masa Lalu
Di negara-negara demokrasi di mana kebebasan berekspresi dijunjung tinggi, tradisi pembungkaman buku sudah usang. Buku dibalas buku. Gagasan dibenturkan dengan gagasan. Pergumulan diyakini akan memacu kedewasaan masyarakat dalam menghadapi perbedaan. Di lain sisi, pergumulan ini juga dipercaya akan merangsang kreatifitas masyarakat.
Prinsip buku berbalas buku merupakan tradisi intelektual sejak zaman beheula. Prinsip ini merujuk pada peribahasa Yunani “verba volant, scripta manent”; yang terucap akan hilang, yang tertulis akan abadi. Gagasan yang terucap, termasuk si pengucapnya, bisa mati berkalang tanah. Tetapi gagasan yang tercatat akan menyintas masa dan era.
Terlebih di era digitalisasi di mana segenap gagasan tersimpan dalam memori komputer. Sejak itu gagasan tidak pernah mati. Ia hanya terlelap sesaat, seperti bom waktu yang menunggu diledakan pada waktu dan oleh seseorang yang tepat.
Walhasil, membendung informasi dan memberangus buku sudah tak lagi berfaedah. Yang terbaik adalah memproduksi informasi atau buku tandingan. Pada era pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) praktik semacam ini amat kentara.
Sepuluh tahun memerintah, SBY kenyang akan kritikan via buku; bahkan ada pula gerakan cabut mandat. Tetapi di era SBY pula opini-opini liar menemukan kawan tanding. Masyarakat diberi dua sudut pandang. Opini dibalas opini. Buku dibalas buku.
Yang paling fenomenal adalah buku “Membongkar Gurita Cikeas” karangan George Junus Aditjondro. Buku itu amat menohok SBY secara personal. Peredarannya masif –sampai dijajakan di perempatan lampu merah. Lalu muncul pula link download gratisnya di dunia siber. Dibanding “Membongkar Gurita Cikeas”, “Jokowi Undercover” boleh dibilang belum ada apa-apanya.
Tetapi toh, tidak ada langkah hukum SBY terhadap Aditjondro. Opini dilawan opini. Berbagai diskusi publik digelar. Tokoh-tokoh memperdebatkannya, pro dan kontra. Lalu terbit buku “Cikeas Menjawab!” tulisan Garda Maeswara sebagai kontraopini yang komprehensif atas “Membongkar Gurita Cikeas”
Dari gerak-langkahnya, kita bisa mempersepsikan SBY tergolong menghormati bahkan menikmati pergumulan gagasan itu. Boleh jadi kekalemannya akibat SBY adalah seorang penulis. Sehingga, ia amat memahami makna “verba volant, scripta manent”.
pernah dimuat di politiktoday

Tidak ada komentar