Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Salah Kaprah Tudingan terhadap FPI dan Agus Yudhoyono


Menarik sekali tulisan Bung Hedi Purnomo di kompasiana berjudul Saling Tunggang antara FPI dan Agus. Menarik karena alur penjabarannya yang jernih, sehingga opini pembaca digiring untuk mendiskreditkan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Front Pembela Islam (FPI. Bung Hedi bahkan menariknya sehingga seolah-seolah Aksi Bela Islam (ABI) adalah gerakan politik.

Tetapi, tentu saja ada beberapa hal yang perlu dikritisi atas tulisan Hedi ini.

Pertama. Hedi memberikan link video berjudul Coba Tebak Siapa Sosok Yang Sedang Asik Makan Bareng Para Habaib Ini?.Setelah saya klik, dbawa ke youtube dan ternyata link tersebut sudah dihapus.  Tulisan yang tampil “Video ini tidak lagi tersedia karena akun YouTube yang terkait dengan video ini telah dihentikan.” Kenapa video itu dihapus? Siapa yang menghapus? Mengingat kentalnya UU ITE, saya menduga video ini dihapus karena ada masalah di dalamnya. Mungkin ujaran kebencian, fitnah atau apa; yang jelas sekonyong-konyong video itu dihapus. Tapi sudahlah!

Kesalahan utama para penganut ilmu cocokisasi adalah mencocok-cocokan sesuai keinginan. Padahal, belum tentu pencocok-cocokannya itu betul. Untuk mengujinya, perlu dilihat pula perspektif yang berbeda, sehingga pemahamannya dapat utuh.

[1] FPI adalah suatu ormas Islam yang amat aktif, bukan cuma masalah politik tetapi juga kemanusiaan dan dakwah. Silakan googling, dan kita akan temukan banyak gambar silahturahmi FPI dengan tokoh-tokoh bangsa. Bukan hanya SBY, tetapi juga Prabowo, MUI, Haji Lulung, bahkan Jokowi dan JK. Apakah bisa suatu pertemuan kemudian diklaim sebagai adanya “deal”?  Jika begitu logika yang dipakai, jangan salahkah publik jika menuding Ahok ada “deal” dengan bos besar Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma (Aguan) yang kini sedang tersangkut kasus korupsi di KPK. Bukankah Ahok mengaku terbiasa bertemu Agua satu kali dalam sebulan?  Ahok Akui Dekat Dengan Aguan, Makan Mpek-mpek Jadi bahaya kan?

[2] Gubernur tandingan. betul FPI sudah lama berseteru dengan Ahok. Perseteruan ini bukan sebatas isu agama, tetapi FPI menilai ada kebijakan-kebijakan Ahok yang tidak berorientasi kepada rakyat. Manuver FPI dengan mengangkat  Gubernur tandingan bukan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi. Karena memang tidak ada pasal UUD 1945 yang dilanggarnya. Di negara-negara maju, tradisi tandingan ini sudah lumrah.

Di Inggris contohnya, Pemimpin Partai Buruh Jeremy Corbyn mengumumkan Kabinet Bayangan  Tradisi pejabat bayangan adalah suatu cara menyampaikan kritik agar pejabat yang sebenarnya itu dapat bekerja lebih baik lagi.

Tradisi bayangan juga sempat muncul di masa SBY, namanya Koalisi Muda Parlemen Indonesia sebagai kritik bagi pemerintah. Tidak ada masalah dalam demokrasi terkait hal ini. Barangkali hanya Bung Hedi saja yang kekurangan referensi bacaan sehingga menyebutnya sebagai pelanggaran konstitusi.

Ketiga, dukungan FPI untuk AHY-Sylvi. Saya bertanya-tanya mengapa Hedi sampai luput jika FPI berorientasi mendukung Gubernur Muslim. Maka  FPI menegaskan bahwa mereka mendukung AHY-Sylvi sekaligus Anies-Sandiaga. Klarifikasi ini sudah sangat jernih dan tegas. Ramai Hashtag #FPIdukungAHY, Ini Penjelasan Ketum FPI .  Jadi mengapa harus dicari-cari celah lagi? Bukankah sikap ketua umum FPI itu adalah sikap resmi organisasi FPI?

Keempat, tunggang-menunggangi. Heidi menulis, “SBY melalu konferensi persnya menyatakan dukungan penuh terhadap pengawalan peradilan penistaan agama yang notabene sedang dikawal oleh FPI”

Padahal, SBY tidak pernah menyebut FPI secara spesifik. Lalu, yang mengawal kasus penistaan agama yang mendakwa Ahok bukan hanya FPI, melainkan GNFMUI- ada banyak ormas Islam dan pribadi-pribadi orang Islam yang mendukungnya. Dengan demikian, terlalu sukar jika kita menyebut konferensi pres itu semata-mata untuk menarik dukungan FPI. Tidak mungkin jutaan orang yang hadir di ABI Jilid II dan Jilid III itu semata-mata massa FPI.

Dukungan SBY atas pengawalan penistaan agama yang mendakwa Ahok dilandasi atas kesadaran bahwa gerakan itu semata-mata mencari keadilan. Mustahil jika gerakan itu terwujud hanya demi urusan Pilkada Jakarta, untuk urusan politik. Mustahil gerakan itu begitu besar jika tidak diikat sesuatu yang lebih tinggi ketimbang urusan politik, dan itu adalah perkara agama.
Apa umat Islam itu mau jalan kaki dari Tasikmalaya ke Jakarta hanya untuk kepentingan Pilkada Jakarta? Terlalu menurut saya.

Jika hendak salah-menyalahkan atas membesarnya efek kasus penistaan agama ini, maka kita patut bertanya kepada aparat hukum. Ahok disebut sudah berulang-ulang menista agama, sehingga Advokat Cinta  Tanah Air sampai 9 kali melaporkannya. Tetapi prosesnya terkatung-katung. Jika saja penanganannya lebih cepat pasti  Aksi Bela Islam tidak akan sebesar itu.

Kelima, SBY makar. Ini yang paling lucu, apalagi beralas skenario-skenario-an. Sejak jauh-jauh hari SBY telah menolak tegas penjungkalan presiden di tengah periodesasi pemerintahan. Bagi para tokoh yang kebelet hendak duduk di kursi RI 1, SBY selalu menegaskan agar menunggu moment Pilpres 2019. Ketika isu makar membuncah, SBY kembali menegaskan prinsip kenegarawanannya ini dalam artikel Pulihkan Kedamaian Dan Persatuan Kita di Harian Rakyat Merdeka, Senin (28/11/2017). Menjadi janggal ketika penegasan berulang-ulang dari SBY malah ditanggapi dengan tudingan hendak berbuat makar. 

Lagipula, jika makar siapa yang sebenarnya diuntungkan? Bukankah orang-orang dari lingkar istana sendiri? Pecinta teori konspirasi tentu paham akan hal ini. Lagipula apa manfaat berbuat makar untuk SBY? Makar demi memenangkan AHY di Pilkada Jakarta? Betapa tak masuk akalnya pikiran ini.

Tapi demikianlah dampak dari ilmu cocokisasi digunakan. Salah kaprah jadi amat rentan terjadi.

kompasiana 

Tidak ada komentar