Benarkah SBY "Presiden Terlicik" di Indonesia?
Tulisan Marula di
kompasiana menarik. Judulnya : Memang Benar SBY, "Presiden Terlicik yang
Pernah Dimiliki Indonesia". Menarik, meskipun tulisan ini kental nian
upaya untuk mendegradasi tanpa landasan yang kuat.
Dari judulnya, ‘Memang
Benar SBY, "Presiden Terlicik yang Pernah Dimiliki Indonesia"’, jelas
niat tendensi yang hendak diciptakan. Kalaupun tanda petik dua (“) yang
dimaksud bukan makna yang sebenarnya, menjadi aneh sebab muatan dari tulisan
itu malah menggiring opini pembaca ke arah sana secara harfiah. Jika bukan,
sudah selayaknya ia memberi penjelasan terkait bahwa frasa ini bukan makna
harfiah. Tetapi, bukankah isi tulisan ini sekali lagi, hanya kumpulan data
dengan analisis yang amat minim dan amat kedodoran.
Frasa "Presiden Terlicik
yang Pernah Dimiliki Indonesia" sejatinya menuntut perbandingnya antar
subjek yang setara, yaitu presiden. Terlicik, artinya paling licik di antara.
Artinya dengan judul ini penulis juga mengiring bahwa presiden Indonesia
tergolok licik semua. Mulai dari Sukarno, Suharto, Gus Dur, Megawati, SBY dan
Jokowi adalah presiden yang licik.
Secara pribadi saya
mempertanyakan pasal ini? Benarkah presiden-presiden Indonesia itu licik? Licik
artinya banyak akal yang buruk; pandai menipu; culas; curang. Sedemikian
rendahnyakah presiden-presiden Indonesia di mata Marula? Apakah ini termasuk
penistaan kepada presiden sebagai simbol "negara"?
Point saya selanjutnya,
menurut saya ketika penulis menggunakan pasal “Presiden Terlicik yang Pernah
Dimiliki Indonesia”, agar adil, ia pun berkewajiban menjelaskan apa saja
kelicikan-kelicikan presiden-presiden lainnya. Bukan hanya SBY, sehingga kita
bisa membanding-bandingkannya. Karena tanpa pembanding, Marula tidak memiliki
landasan untuk menyebut SBY sebagai presiden terlicik.
Baiklah, kembali ke
konten. Menurut saya, tulisan itu hanya sekadar penyajian data-data yang sama
sekali tidak dianalisis. Pada posisi ini, si penulis dapat diibaratkan sebagai
pemulung yang mengumpulkan sampah-sampah di beranda rumah kita, tetapi ia tidak
menjelaskan maksud dari keberadaan sampah-sampah tersebut. Mari kita bahasa
satu persatu.
[1] Selalu menjadi pihak yang terzolimi dan
teraniaya.
Ini hal dasar yang sering
ditimpakan kepada SBY. Tetapi silakan masukan keyword terzolimi, teraniaya, tambahakan
dengan keyword nama-nama presiden. Dan kita akan menemukan frasa-frasa itu
tidak hanya tersemat pada SBY, tetapi juga Megawati dan Jokowi.
[2] Tudingan di belakang unras 411, dan
kaitannya dengan Boni Hargens.
Kita tahu siapa sejatinya
Boni Hargens. Ia adalah mantan tim sukses Jokowi yang kini mendapat kue sebagai
Dewan Pengawas BUMN Antara. Sampai sekarang tuduhan Boni bahwa SBY membiayai
unras 411 dari uang hasil korupsinya selama 10 tahun berkuasa tidak pernah bisa
dibuktikan Boni. Kalau Boni punya bukti, mengapa ia tidak melaporkan kepada
KPK? Jangan-jangan Boni Cuma asal ucap? Jangan-jangan Boni tidak punya bukti.
Serupa dengan keteledorannya menyebarkan foto Ketua Majelis Ulama Indonesia
(MUI) KH. Ma’ruf Amin yang kemudian menimbulkan keresahan publik. (tempo)
Apakah orang teledor itu
yang hendak dijadikan sebagai landasan pembenaran? Demikian pula tudingan aktor
politik, tidak pernah dibuktikan Jokowi dan Kapolri. Alih-alih sekarang, aparat
hukum malah mengait-ngaitkannya dengan terorisme. (kompas).
[3] Nasihat agar seluruh lulusan akademi
perwira TNI dan Polri agar mereka jangan bercita-cita menjadi kepala daerah.
Nasihat ini jelas dipenggal-penggal. Kendati
menasihati, SBY sadar kalau jalan hidup manusia tidak dibatas-batasi. Karena
itu, dalam nasihatnya SBY pun menyebut, “Bisa saja dalam perjalanan kehidupan
nanti ada dinamika, takdir, jalan kehidupan kalian memasuki profesi yang lain.”
(antara)
Artinya ada pemahaman SBY
akan ruang kebebasan di sana. Bukankah hidup adalah sebuah pilihan? Dan orang
yang paling baik adalah mereka yang memberikan manfaat bagi sesamanya. Jika ada
pontensi lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara, SBY tidak menabuhkan
seseorang untuk beralih profesi.
[4] Somasi Kompasianer Sri Mulyono.
Apa yang akan kita lakukan
jika harkat, martabat dan kehormatan kita disingung? Apakah kita akan diam
saja? Tentu saja tidak. Kita akan bergerak untuk membela kehormatan kita. Malah
di sini bentuk kearifannya, alih-alih membawanya ke meja hijau ke aparat hukum,
keluarga SBY memilih untuk mensomasi Sri Mulyono. Somasi adalah sebuah teguran
terhadap pihak calon tergugat pada proses hukum. Tujuan dari pemberian
somasi ini adalah pemberian kesempatan kepada pihak calon tergugat untuk
berbuat sesuatu atau menghentikan suatu perbuatan sebagaimana tuntutan pihak
penggugat.
Bayangkan jika langsung
dilaporkan ke polisi tentu urusan akan panjang. Inilah bentuk penghargaan
keluarga SBY terhadap jurnalisme warga yang lebih rentan salah ketimbang
jurnalisme konvensional. Karenanya, kesempatan penyelesaian di luar jalur hukum
yang lebih didahulukan.
[5] Dinasti Politik
Perlu dicatat, SBY tidak
pernah mengharamkan dinasti politik, selama mempertimbangkan norma dan
kepatutan. Silakan cermati berita ini baik-baik : Kata SBY Soal Dinasti Politik. Yang terpenting adalah persoalan
norma dan kepatutan. Apakah mereka yang disodorkan kepada publik itu merupakan
orang yang memiliki kapasitas mumpuni. Jika benar, maka hal itu tak perlu
ditabukan. Di parpol-parpol lain pun ada dinasti politik. Merah, kuning, hijau,
ada dinasti politiknya. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai dinasti ini
berdampak negatif dalam politik, dan juga jangan sampai terjadi perebutan
dinasti yang merugikan masyarakat dan negara. Dinasti politik di Indonesia
sudah berada pada aras kultural, jangan sampai jatuh kepada aras struktural.
Lagipula, jangankan di Indonesia, sedang di Amerika Serikat pun dinasti politik
pun masih kental. Ambil contoh, Bill Clinton dan Hillary Clinton, dinasti Bush
atau dinasti Kennedy.
[6] dan [7] Dari banyak point, point
century dan Antasari ini menjadi yang paling janggal.
Karena sumber beritanya,
sama sekali tidak menyebut nama SBY. Apa suatu teknik murahan untuk
mengait-ngaitkan? Jika benar, inilah yang saya sebutkan dengan artikel pemulung
tadi. tempo dan kompas
Satu-satunya yang
melandasi adalah artikel di sebuah blog yang tidak jelas, tersamar penulisnya,
yang sejak dibuat sampai hari ini hanya pernah memuat 1 artikel pada 12
November 2009. Setragis inikah landasan pikir penulisnya? Apa bedanya hal ini dengan
mendengar obrolan minum kopi di sudut desa terpencil bahwa ada ayam berkaki
tiga, lalu sekonyong-konyong kita menyebarkan informasinya? Ah, saya tak habis
pikir.
[8] Proyek IT di KPU pada Pilpres 2009
dimenangkan oleh perusahaannya Hartati Murdaya, Bendahara Partai Demokrat.
KPK temukan sesuatu dalam
Proyek itu. Point ini benar-benar membuat saya tertawa. Lagi-lagi, tidak
tertera keterlibatan SBY di dalamnya. Penulis harus hati-hati. Karena, jika
logikanya sedangkal ini bisa menjadi bumerang bagi khalayak. Saya ambil contoh
berita ini : Bendahara Umum PDIPTerbukti Terima Suap Rp2,5 Miliar. Lantas, apakah saya layak kemudian
mengait-ngaitkannya dengan Megawati? Sekali lagi, ini logika dangkal.
[9] Terlantarnya 34 proyek listrik yang
mangkrak.
Lagi-lagi penulis
memaksakan pengkaitannya dengan SBY. Padahal, yang namanya proyek pemerintah
sudah memiliki sistem sendiri. Mulai dari pelaksana, panitia tender,
spesifikasi sudah ditentukan. Lalu pertanggungjawaban dibagi-bagi, mulai dari
tingkat terbawah, panitia, BUMN-Kementerian, baru presiden di puncaknya.
Terlalu jauh jika sekonyong-konyong mengaitkan dengan presiden. Ibarat sepatu
kita hilang di mesjid mall, lalu kita menuduh direktur utama mall itu yang
bermasalah. Di mana logikanya? Kembali lagi, jika logika itu yang dipakai.
Apakah kita harus menuding Jokowi berada di belakang kasus pungli di
kementerian perhubungan hanya karena ia presiden yang menjabat?
[10] Bunda puteri adalah isu lama.
Semasih presiden RI, SBY
sudah membantah. Kini SBY sudah bukan lagi presiden. Ia tidak lagi memiliki
kekuasaan atas aparat hukum. Jadi jika memang ada hal yang belum tuntas terkait
Bunda Puteri, silakan pemerintah mengusut. Bukankah SBY kerap menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum, sehingga tidak boleh ada yang kebal hukum.
Masalahnya, point ini lagi-lagi tidak membuktikan bahwa SBY adalah presiden
licik, apalagi licik. Satu-satunya penjelasan atas point ini adalah prasangka
yang kebetulan bertemu dengan pernyataan Tjipta Lesmana. Tetapi adakah fakta
hukum yang valid terkait kasus hukum SBY dengan Bunda Puteri? Sama sekali tidak
ada bukan
kompasiana : http://www.kompasiana.com/rahmathayib/benarkah-sby-presiden-terlicik-di-indonesia_583d22b4757a61c226778648
kompasiana : http://www.kompasiana.com/rahmathayib/benarkah-sby-presiden-terlicik-di-indonesia_583d22b4757a61c226778648
Post a Comment