Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Spanduk Prabowo-Sandi di Cileungsi Dalam Standar Ganda Polisi


Kemarin Cileungsi, Bogor memanas. Duduk perkaranya polisi ingin menurunkan baliho Prabowo-Sandi yang dipasang di depan Perum Limus Pratama Regency, Desa Limusnunggal. Alasannya rawan bentrok antara pendukung 01 dan 02. Media menyebut pihak yang meminta baliho itu dicabut adalah pendukung Jokowi-Ma’ruf.
Isi baliho itu sebenarnya tidak panas-panas amat. Cuma ucapan terima kasih kepada warga Kecamatan Cileungsi yang telah mendukung dan memenangkan Prabowo Subianto – Sandiaga Salahuddin Uno sebagai presiden dan wapres RI periode 2019 – 2024. Disertai foto paslon capres nomor urut 02 itu.
Mestinya spanduk itu tidak jadi sumber keributan. Apalagi polisi sampai ikut serta di dalamnya. Pilpres 2019 ini jelas terang semerbak strategi politik klaim. Perhatikan saja. Para pendukung 01 dan 02 sama-sama mengklaim jagoannya menang dan akan menjadi presiden dan wapres RI periode 2019 – 2024. Padahal sampai hari ini belum ada keputusan resmi dari KPU.
Klaim kecamatan Cileungsi itu juga mestinya tidak sampai ribut-ribut. Karena, metode kampanye Pemilu 2019 ini memang banyak perang klaim. Pendukung Paslon Jokowi-Ma’ruf misalnya menklaim kalau jagoannya didukung alumni SMA se-Jakarta, alumni UI, santri, buruh dan lain-lain. Apa bisa dibuktikan kalau seluruh alumni SMA se-Jakarta memang mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin? Lha, konon kabarnya Jokowi-Ma’ruf keok di DKI Jakarta.
Maka, meributkan spanduk Prabowo-Sandiaga cuma bermuara pada dua dugaan. Pertama, polisi tidak bijak menyikapi situasi. Polisi masih gagap dengan keriuhan demokrasi hari ini. Polisi kebingungan sehingga gampang dipropaganda oleh pihak-pihak tertentu. Makanya saat dapat laporan spanduk Prabowo-Sandi ini gapah-gopohlah mereka ke TKP. Bahkan sampai ngotot-ngototan dengan masyarakat.
Yang parah itu dugaan kedua. Dugaan ini yang perlu kita waspadai, yakni polisi menggunakan standar ganda untuk pihak-pihak tertentu. Seperti saya katakan tadi, spanduk Prabowo-Sandi adalah fenomena yang wajar di tengah riuh-rendah demokrasi hari ini. Tapi toh berbekal laporan masyarakat, yang ditenggarai pendukung 01, polisi langsung putuskan agar spanduk itu di-take-out.
Padahal kalau masalahnya bikin panas-dingin suhu politik, banyak sekali kasus-kasus lain yang bisa tangani. Misalnya, kasus Jokowi-Ma’ruf Amin kalah di Jabar, lantas peneliti LIPI Amin Mudzakir menyalahkan urang Sunda. Kejadian yang sama juga menimpa orang Minangkabau di Sumatera Barat, dan masyarakat Aceh karena Jokowi kalah telak di sana. Mereka disebut tidak tahu diuntung, pikirannya tidak terbuka, sampai tudingan Islam garis keras yang dilakukan Mahfud MD.
Bukankah aktivitas-aktivitas ini jauh lebih berbahaya ketimbang pemasangan spanduk Prabowo-Sandi di Cileungsi itu? Tudingan-tudingan itu amat sensitive karena tidak semata-mata terkait capres-cawapres, tapi identitas masyarakat tertentu. Akibatnya bukan cuma potensi bentrokan pendukung 01 dan 02 di daerah-daerah itu makin tinggi, tapi juga mengganggu kebhinekaan kita. Kalau pisau politik identitas sudah mengkoyak-koyak tali persatuan bangsa, celaka 12 jadinya.
Lantas, apa tindakan polisi terkait kasus ini? Nol besar!  
Polisi terkesan pilih kasih. Seakan-akan polisi sedang memainkan politik standar ganda. Kalau keriuhan yang diproduksi pendukung 02, cepat sekali responnya. Sementara untuk kasus-kasus yang dilakukan pendukung 01, polisi terkesan abai. Maka, wajar saja kalau kemudian masyarakat Cileungsi menolak polisi menurunkan baliho Prabowo-Sandi. Ada krisis kepercayaan publik kepada polisi.
Karena itu, polisi harus hati-hati bersikap agar tidak semakin memperkuat krisis kepercayaan tersebut.  Saya pikir inilah pekerjaan rumah polisi Indonesia hari ini, yakni mengembalikan kepercayaan publik pada instutusi bhayangkara itu.
sumber: politiktoday 

Tidak ada komentar