Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

6 Alasan Kenapa Kita Butuh Pengawas Internasional Agar Pemilu Jujur dan Adil


Rakyat Indonesia menyongsong 17 April 2019 dengan hati yang cemas. Betapa tidak? Kasus-kasus dugaan pelanggaran pemilu semakin marak saja dari hari-hari. Terkesan ada upaya untuk menggunakan kekuasaan seluas-luasnya untuk mendukung kemenangan paslon Jokowi-Ma’ruf Amin.
Saya mencatat beberapa faktor yang membuat rakyat pesimis Pemilu 2019 bisa berlangsung jujur dan adil, di antaranya:
Pertama, menteri kabinet diragukan netralitasnya. Siapa pun mereka, bahkan politikus sekali pun, apabila sudah duduk di jabatan publik harus bersikap netral. Mereka harus bisa membedakan mana posisi sebagai politisi dan mana posisi sebagai menteri. Celakanya, posisi ini yang nyata-nyata bias.
Meski dibungkus secara apik, rakyat sudah bisa membaca apa maksud dari tingkah laku para menteri yang kelewatan itu. Misalnya Mendagri Tjahjo Kumolo yang “jualan” Jokowi 2 periode kepada para kades. Pernyataan Menristekdikti Mohamad Nasir agar jangan coblos dua, coblos satu saja. Menkoinfo Rudiantara yang tegas-tegas mendikte ASN dengan “yang gaji kamu siapa” gara-gara simulasi pemilu. Termasuk aksi satu jarinya Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan dan Sri Mulyani dalam pertemuan IMF-World Bank tempo lalu.
Kedua, polisi diragukan netralitasnya. Rakyat Indonesia baru saja digegerkan dengan viralnya video polisi yang melatih emak-emak berteriak “Jokowi Yes-Yes!” Video ini terang mengerikan di tengah-tengah harapan publik agar polisi tidak lagi ditarik ke dalam politik praktis seperti era orde baru. Apapun alasannya sulit rasanya mencari pembenaran atas aksi polisi melatih “Jokowi Yes-Yes!” itu, utamanya dalam kondisi Pemilu yang sedang panas-panasnya ini.
Ketiga, ASN diragukan netralitasnya. Netralitas ASN dan Kepala Desa adalah satu masalah besar dalam pemilu hari ini. Banyak ditemukan kepala desa yang menjadi tim pemenangan atau sikap tindakan ASN yang condong mendukung kubu tertentu.
Ini dibuktikan dengan terciduknya camat se-kota Makassar yang mendeklarasikan diri untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Ada pula aksi Mendagri Tjahjo Kumolo yang minta ASN jangan netral, tapi jadi corong kisah sukses Jokowi. Ada pula kasus walinegari di Dharmasraya Sumatera Barat yang terang-terangan mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin.
Padahal ASN dan Kepala Desa adalah figur sentral di masyarakat dan menjadi tokoh rujukan di masyarakat. Mestinya para ASN dan kepala desa dapat menempatkan diri sesuai dengan mandat undang-undang untuk tidak mengambil bagian dari tim pemenangan peserta pemilu.
Keempat, lembaga survei diragukan netralitasnya. Belakangan ini banyak lembaga survei yang coba mengiring opini public tentang hasil pemilu. Tragisnya lembaga-lembaga survei itu terciduk atau memiliki track record sebagai konsultan politik dari pihak-pihak tertentu. Bagaimana indenpendensi pelaksanaan quick count apabila lembaga survei ini adalah konsultan kubu tertentu?
Bagaimana mungkin lembaga survey itu bisa dipercaya bersikap netral, bila sejatinya mereka adalah pemain dalam Pemilu ini? Sialnya, Indonesia tidak punya hukum untuk melarang lembaga survey untuk mengambil dua peran sekaligus dalam satu event kompetisi politik tertentu.
Kelima, media massa diragukan netralitasnya. Hari ini sebagian besar keberadaan bos media ada di kubu Jokowi. Mereka adalah Surya Paloh, Hari Tanoesoedibjo, dan Erick Thohir. Bergabungnya ketiga sosok tersebut akan merugikan masyarakat karena bisa jadi membuat medianya tak lagi independen. Apalagi media sosial saat ini masih dipenuhi oleh berita disinformasi dan hoaks. Akibatnya, masyarakat akan kebingungan mencari informasi yang dapat dipercaya.
Keenam, Presiden Cuti Jam-jaman. Peraturan cuti pejabat yang hendak berkampanye dalam Pemilu, menguntungkan capres petahana Jokowi. Akibatnya Jokowi bisa tetap berkampanye di sela-sela melaksanakan tugas sebagai presiden. Turunannya Jokowi bisa tetap menggunakan fasilitas sebagai presiden saat hendak berkampanye.
Meskipun sah secara peraturan perundang-undangan, kebijakan ini tentu melanggar etika politik. Ada ketidakadilan antar capres di sini, termasuk besarnya potensi capres petahana melakukan penyelewengan kekuasaan untuk menjaga status quo.
Daftar ini akan bertambah panjang apabila kasus-kasus Kepala Daerah juga dimasukan. Tapi intinya dalam kondisi yang penuh potensi ketidaknetralan ini, kita tidak bisa lagi berharap pada sisi internal. Apalagi bila kekuasaan benar-benar menyusup dalam kegelapan untuk memenangkan kubu tertentu. Kita perlu semakin memperkuat pengawasan agar Pemilu bisa berlangsung jujur dan adil.
Salah satunya dengan membuka keterlibatan pengawas internasional. Sinergi pengawas internasional dan pengawas lokal bisa meminimalisasi kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi. Rakyat juga bisa lebih tenang sebab yang namanya pengawas internasional bersifat independen. Mereka tidak bisa diintervensi secara langsung oleh penguasa manapun di Indonesia.
Keberadaan pengawas internasional juga bisa meningkatkan kepercayaan rakyat bagi Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada Pilpres 2019 mendatang. Legitimasi Pemilu semakin kuat. Dengan cara ini imbas negatif Pemilu bisa ditekan sehingga kekuatan seluruh bangsa Indonesia bisa lebih cepat dikonsolidasikan pasca Pemilu usai.
sumber: politiktoday

Tidak ada komentar