Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Demi Demokrasi Pancasila, Prabowo Harus Lawan “Media Massa Genderuwo”


1000% saya dukung Prabowo Subianto yang meluapkan kekesalannya terhadap media massa tempo hari. Memang seharusnya begitu. Ini bukan soal “ngambek”. Ini soal nafas demokrasi Indonesia. Sebagai seorang patriot bangsa, sudah selayaknya Prabowo mengingatkan setiap elemen bangsa yang melenceng dari jalan Demokrasi Pancasila.
Publik sudah paham alasan kekesalan Prabowo: Reuni Akbar 212. Tidak terbayangkan! Ada jutaan rakyat Indonesia yang hadir dalam kegiatan itu, tapi pemberitaannya amat minim.
Padahal jumlah massa Reuni Akbar 212 jauh di atas semua konsentrasi massa pada gerakan 1966, 1974 dan 1998. Bahkan jumlahnya jauh di atas partisipan Revolusi Prancis, Revolusi Bolshevik Rusia, protes gaji dan BBM di Prancis awal tahun 2000, pemberontakan Gwangju tahun 1980 di Korea.
Secara logika, tentulah Reuni Akbar 212 menjadi peristiwa yang hits buat disiarkan. Namun faktanya hanya tiga media massa mainstream yang memberikan porsi layak bagi giat tersebut: TV One, Republika dan Rakyat Merdeka.
Sebelumnya, publik juga sama-sama mendengar jerita gerakan mahasiswa di media sosial. Ribuan pemuda turun ke jalan di hampir semua kota seantero Nusantara. Mereka berteriak lantang untuk menyuarakan suara rakyat. Nyatanya, gerakan moral mereka sepi dari liputan media massa.
Reuni Akbar 212 dan gerakan mahasiswa besar-besaran itu adalah rekam jejak rakyat. Dengan tidak memberitakan kedua giat ini, media massa ibarat coba menghapus gerakan rakyat dari panggung sejarah bangsa.
Ada apa ini? Apakah ini karena keberadaan cukong-cukong media massa di kubu pemerintah? Publik sudah maklum keberadaan Hary Tanoe, Erick Thohir, dan Surya Paloh di kubu Jokowi-Ma’ruf mengesankan hampir semua media elektronik dan TV sudah “dikuasai” kandidat petahana. Sementara Reuni Akbar 212 dan gerakan mahasiswa mendapat stigma sebagai kaum oposisi?
Jika benar ini alasannya alamat kiamat sudah media massa tanah air. Media massa sudah dikangkangi oleh penguasa genderuwo, yakni elit penguasa yang menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya.
Padahal media massa adalah pilar demokrasi keempat. Keberadaan media massa tidak kalah penting dengan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan media massa punya peran lebih kuat dari ketiga pilar demokrasi yang berpotensi melakukan abuse of power itu.
Demokrasi akan berkembang dengan baik jika media massa juga berkembang dengan baik. Karena itu media massa harus menjaga hati nurani untuk menjaga keberlangsungan demokrasi. Media massa jangan sampai terjebak arus politik tanah air. Apalagi sampai dikendalikan oleh penguasa gendurowo.
Yang namanya jutaan orang berkumpul di satu titik, pasti ada maunya. Pasti ada aspirasi yang mau  disampaikan. Adalah tanggung jawab media massa untuk menyiarkannya. Inilah posisi strategis media massa dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial.
Faktanya, belakangan ini justru posisi strategis media massa lenyap ditelan hiruk-pikuk politik tanah air. Media massa terkesan menolak mengambil posisi strategisnya. Media massa enggan menjadi alat kontrol sosial, malah jadi instrument menopang kekuasaan.
Ini jelas bukan media massa yang diidam-didamkan dalam tatanan demokrasi pancasila. Ini adalah media massa genderuwo yang sarat kepentingannya sendiri. Media massa semacam ini masuk ke dalam kartel genderuwo yang isinya para politisi dan penguasa genderuwo.
Karena itu, saya amat mendukung kekesalan Prabowo Subianto. Apa yang disampaikan Prabowo adalah wake up call bagi media massa di tanah air. Subtansi dari apa yang disampaikan Prabowo sepatutnya jadi bahan perenungan insan pers Indonesia. Tidak ada tempat bagi media genderuwo di bumi Indonesia yang menjunjung tinggi demokrasi pancasila ini.
sumber: politiktoday

Tidak ada komentar