Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Megawati Capek dan Senjakala Trah Sukarno di PDIP


Megawati Sukarnoputeri sudah capek. Dia mau pensiun dari dunia politik. Ini kesimpulan saya saat menyimak pidato Megawati di pembekalan caleg DPR RI PDIP tempo hari. Untuk kesekian kalinya Megawati meminta transisi kepemimpinan di PDIP. Ia ingin segera berhenti dari jabatan ketum PDIP mengingat usianya yang sudah sepuh.
Dari sini publik bisa membaca bahwa Megawati merasa terpaksa memimpin PDIP di usianya yang sudah senja. Boleh jadi petinggi-petinggi PDIP yang memaksanya. Mereka minta Megawati jangan pensiun dulu sebab belum ketemu penggantinya.
Megawati memang punya keistimewaan yang tidak dimiliki tokoh PDIP manapun. Pertama, Megawati punya kewibawaan besar. Kalau ada permasalahan nasional, Mega adalah salah satu sosok yang paling dicari mengingat pendiriannya yang teguh. Kedua, Megawati punya pengalaman politik panjang. Statusnya sebagai trah Sukarno, membuat Megawati harus merangkak dari dasar istana politik semasa Orde Baru. Dia sudah menyintas lembah, jurang, dan gunung perjuangan sehingga bisa menapak sebagai Ketum PDIP, dan akhirnya Presiden ke-5 RI. Terakhir, Mega adalah pewaris ideologi Sukarno. Dia magnet penghimpun segenap unsur di PDIP untuk bergerak bersama membangun parpol moncong putih.
Orang bilang usia boleh tua, tetapi semangat harus terus muda. Masalahnya, Megawati sudah merasa sepuh lahir-batin. Dia pemimpin parpol terlama dan tertua di Indonesia. Dia sudah kepala tujuh, dan lebih dua dekade menahkodai PDIP.  Dia sudah capek dan ingin berhenti.
Makanya ketimbang politisi seangkatannya Mega terbilang paling rapuh. Beda dengan Jusuf Kalla, Wiranto atau Prabowo yang masih “berkelana”, Megawati amat jarang muncul di depan publik. Apalagi jika dibandingkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang secara konsisten setiap tahunnya menyambangi ratusan kota/kabupaten se-Indonesia.
Cepat atau lambat, Megawati harus undur diri. Lalu siapakah penggantinya?
Mula-mula publik berpikir Puan Maharanilah orangnya. Tapi pidato Megawati mengubrak-abrik prediksi ini. Megawati mengeluhkan kalau dia merupakan satu-satunya perempuan yang diperhitungkan di kancah politik nasional. Kritik ini mengkonfirmasi bahwa Megawati  meragukan kapasitas Puan jadi ketum PDIP.
Kalau ditelisik Puan memang tidak punya kapasitas untuk muncul sebagai tokoh perempuan. Kebesaran  Puan bukan karena kerja-kerja politik tetapi posisi dia sebagai anak Megawati. Selama ini tak ada terobosan politik Puan yang membuat citra dia sebagai politisi perempuan yang patut diperhitungkan.
Masih ada trah Sukarno yang lain: Prananda Prabowo. Konon dia sosok yang mengomandoi war room PDIP. Dia yang merancang dan mengagitasi isu-isu penting PDIP. Sebagai sosok yang berada di belakang layar, Prananda fasih akan ideologi Sukarno. Dia sempat dijuluki sebagai penjaga idelogi Sukarno di internal DPP PDIP; sesuatu yang belum mampu tercitrakan dari sosok Puan.
Kelemahannya, Prananda sepopular Puan di kalangan kader PDIP, apalagi bangsa Indonesia. Prananda juga belum pernah menduduki jabatan publik, entah legislatif apalagi eksekutif. Jika dipaksakan Prananda bisa jadi bulan-bulanan politisi oportunis.
Di luar mereka ada opsi lain. Opsi ketiga adalah majunya Jokowi menuju kursi Ketum PDIP.
Masih ada opsi ketiga: Jokowi. Dia punya pengaruh kuat terhadap Mega. Semasa menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi mampu “memaksa” Megawati untuk memberikannya tiket capres. Dominasi Jokowi di PDIP kian meluas pasca terpilih sebagai Presiden. Bahkan pernah muncul wacana dalam Munas PDIP untuk mendapuk Jokowi sebagai Ketum PDIP.
Hasrat tras Sukarno dapat tergaduh jika Jokowi memutuskan untuk turut berkompetisi. Sebagai Presiden, Jokowi terang sosok pertama yang akan dilirik setelah mereka berdua. Sebaliknya, Jokowi berkepentingan untuk memastikan dukungan PDIP padanya. Jokowi membutuhkan dukungan kuat PDI-P guna memuluskan kebijakan-kebijakannya agar tidak dijegal di DPR. Masalah ini akan tuntas jika Jokowi mengambil alih tampuk ketum PDIP.
Kehadiran Jokowi berpotensi meruntuhkan trah Sukarno di PDIP, bahkan mengambil-alih PDIP. Jika kompetisi menuju ketum PDIP pasca Megawati dilakukan secara jurdil, kuat dugaan Jokowi akan mempercundangi Puan dan Prananda.
sumber: politiktoday

Tidak ada komentar