Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Presidential Threshold 20%, Racun Pembunuh Demokrasi Indonesia


Maraknya nama-nama kandidat pemimpin alternative yang masuk dalam bursa capres-cawapres belakangan ini seolah-olah mengkonfirmasi bahwa presidential threshold 20% tak lebih dari lelucon politik yang menipu rakyat. Beredarnya nama-nama tersebut, dari lintas generasi, lintas profesi, dan bahkan bermunculan dari luar ibukota membuktikan bahwa Indonesia tidak pernah kehabisan stock pemimpin nasional.
Fenomena ini menunjukan bahwa Pilpres 2019 hanya akan jadi ajang tanding ulang Jokowi dan Prabowo tak terbukti. Banyak tokoh-tokoh bangsa yang siap maju ke depan, untuk mengemban tampuk kepemimpinan apabila diberi kesempatan. Dan mereka bukan hanya Jokowi dan Prabowo. Sehingga mengkerangkeng kesempatan maju pilpres dalam dua atau tiga poros sejatinya tak lebih dari strategi orang-orang yang takut berkompetisi.
Kecuali itu, ada beberapa alasan subtansi lainnya yang membuat presidential threshold 20% wajib ditolak demi pembangunan demokrasi di Indonesia.
Pertama, sejatinya tak ada basis angka hasil pemilu legislatif yang bisa dijadikan dasar untuk prasyarat pencalonan presiden, karena pemilunya dilaksanakan secara serentak. Alasan penggunaan hasil Pileg 2014, dianggap tak logis karena Pemilu 2019 bukan bagian dari Pileg 2014.
Kedua, presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang menjamin hak setiap partai politik peserta pemilu bisa mengajukan pasangan calon presiden. Secara politik, ketentuan ambang batas pencalonan presiden juga akan dianggap membatasi kesempatan partai atau warga negara lain maju menjadi pasangan calon presiden
Ketiga, pembahasan RUU Pemilu tempo hari menggambarkan kepada publik, bahwa RUU Pemilu yang dibahas hanya untuk kepentingan jangka pendek DPR dari parpol pendukung pemerintah. Targetnya satu, yakni meminimalisasi lawan Jokowi dalam Pemilu 2019 mendatang.
Keempat, alasan penguatan sistem presidensial dengan besarnya dukungan koalisi kepada satu capres, tak menjamin koalisi itu bertahan. Pada faktanya, di tengah perjalanan pemerintahan, parpol politik bisa bergabung di tengah jalan atau bisa menarik dukungan.
Kelima, presidential threshold bisa berujung pada capres tunggal. Dengan konstelasi politik sekarang ini, proses menjelang Pilpres tak dinamis. Bisa kita bayangkan seandainya Puan Maharani yang berencana bertemu Prabowo, berhasil meyakinkan Ketua Umum Prabowo itu untuk mundur dari pencapresan Pilpres 2019, atau mau jadi cawapres Jokowi dengan iming-iming tertentu? Bukankah ini akan membuat Jokowi menjadi calon tunggal? Masak kita harus menyerahkan masa depan Pilpres pada nyapres atau tak nyapresnya Prabowo padahal stock pemimpin kita masih banyak?
Racun yang terkandung dalam presidential threshold 20% semakin tampak manakala MK tak dapat bulat sepakat menolak gugatan ambang batas presidensial tersebut. Ada dua hakim MK yang menolak adanya presidential threshold. Artinya, ada pergulatan keras di tubuh MK dalam menafsirkan presidential threshold untuk Pilpres 2019 ini.
Meski MK sudah ketok palu, bukan berarti presidential threshold tidak bisa diganggu gugat. Para pakar hukum dan penggiat demokrasi bisa mengajukan peninjauan kembali atas keputusan MK tersebut. Namun langkah konstitusional ini masih lemah dibanding potensi ancaman intervensi penguasa. Karena itu, harus ada arus bawah dari jutaan rakyat untuk mendukung pencabutan presidential threshold sehingga MK paham bawah jutaan mata rakyat Indonesia sedang mengawasi mereka.
sumber: politiktoday

Tidak ada komentar