Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Ustadz dan Politisi Mau Dibunuh, Sultan Dicap Gendeng, Revolusi Mental Kemana?


Mengerikan! Hanya kata ini yang tepat untuk mengambarkan keresahan kita bersama. Reformasi sudah menjelang 20 tahun. Sudah 5 presiden yang memimpin Indonesia di era demokratisasi baru tersebut. Lacurnya, keadaban publik malah semakin hancur di era Presiden ke-7 RI, Joko Widodo.
Tidak pernah kita temukan. Tidak di era pemerintahan BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati hingga SBY, ada warga negara Indonesia yang cukup sakit untuk memaki tokoh bangsa di hadapan publik. Tidak pernah ada warga negara Indonesia yang cukup sinting untuk mengancam melakukan penganiayaan bahkan pembunuhan kepada tokoh-tokoh bangsa dengan menepuk dada. Seolah-olah ancaman itu adalah sesuatu yang bersifat heroik, bersifat luhur. Betapa tololnya!
Tetapi fenomena ini terjadi, dan malahan dielu-elukan. Adalah Andre Octa, seorang yang mengaku sebagai Ketua Umum Relawan Indonesia. Lewat akun Twitter @Seknas_RI, Andre Octa diduga mencuit keinginan untuk menghabisi Ustadz Abdul Somad. Sungguh mengerikan yang dituliskannya sebagamana cuplikan layar yang saat ini marak beredar di lini masa Twitter. Dan semakin mengerikan karena Andre Octa nyata-nyata mengklaim diri sebagai relawan Jokowi.
“Masukin dalam karung, lalu gebukin pake balok dari luar, biar darahnya terasa manis,” cuit akun Twitter  @SEKNAS_RI, yang dalam bio akunnya menulis ‘Jutaan Relawan Dukung @jokowi’
Tapi ini bukan fenomena yang pertama. Sebelumnya ada Nathan Suwanto yang via akun Twitter-nya yang menyebarkan ujaran kebencian dan bahkan ancaman pembunuhan untuk Fahira Idris, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Rizieq Shihab, Buni Yani.
Kicauan akun @NathanSuwanto yang menggunakan bahasa Inggris berbunyi:
“If you know of a way to crowfund assassins to Kill Fahira Idris, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Rizieq Shihab, Buni Yani, and friends, lemme know”.
Beredar pula cuplikan layar perihal akun Sultan Fahrie
“Akibat seorang pemimpin gomong rasis, jogja jadi rasis, Atau jgn2 ini hanya setingan sultan sendiri membuat jogja rebut, supaya masyarakat mendukung sultan, Apakah masyarakat jogja wataknya sama bodohnya dgn pemimpin sultan gendeng itu,”
Masih banyak cuit-cuit semacam ini yang meramaikan media sosial kita. Meluasnya kekerasan verbal ini amat mengerikan. Seolah-olah naluri kekerasan telah menyandera ruang kesadaran masyarakat. Seolah-olah pendekatan konflik menjadi jalan utama untuk menyelesaikan segala bentuk persoalan. Kalau fenomana ini dibiarkan, pasti akan melahirkan malapetaka sosial yang besar dan berujung pada kehancuran.
Parahnya, ada kasus di mana relawan Jokowi, sang presiden RI, turut terlibat dalam laku kekerasan verbal ini. Terjadi kekerasa verbal besar-besaran kepada para tokoh oposisi, mereka yang tidak sejalan dengan pemerintahan hari ini.
Apakah laku petantang-petenteng disebabkan kapasitasnya sebagai pendukung Jokowi? Sehingga seolah-olah, demi upaya memastikan Jokowi bisa dua periode, maka keadaban publik boleh diluluh-lantakan? Hancurnya keadaban publik sebagai harga kemenangan Jokowi di periode kedua? Betapa tololnya jika begitu. Terlebih, ketololan ini terang berbanding terbalik dengan program Revolusi Mental yang digaung-gaungkan Jokowi semasa Pilpres 2014.
Dulu, Revolusi Mental ini dielu-elukan sebagai obat, sebagai  “proyek penyadaran” guna menata dan merimbunkan kembali nilai-nilai hidup yang telah rusak dalam tatanan sosial. Yang dikejar adalah pembentukan keadaban publik yang manusiawi.
Dan hari ini, hampir empat tahun Jokowi memerintah Indonesia, hampir empat tahun Revolusi Mental diinternalisasikan, keadaban publik bukannya semakin baik, malah hancur–berantakan. Keadaban publik hari ini jauh lebih buruk ketimbang masa pemerintahan presiden-presiden sebelumnya.
Jadi Revolusi Mental kemana saja?
sumber: politiktoday

Tidak ada komentar