Jembatan Suramadu: Cetak Tangan Banyak Presiden
Boleh jadi, Jembatan
Suramadu masih menjadi jembatan termegah di Indonesia. Jembatan sepanjang 5.438
m ini menghubungkan Pulau Jawa (Surabaya) dan Pulau Madura (Bangkalan).
Pembangunannya bertujuan untuk mempercepat pembangunan di kawasan Madura yang
relatif tertinggal ketimbang daerah-daerah lain di Jawa Timur.
Uniknya, pembangunan
jembatan ini ternyata merupakan cetak tangan beberapa presiden di Indonesia.
Gagasan pembangunan Jembatan Suramadu sudah muncul di era dekade 1960-an,
semasa pemerintahan Sukarno. Tetapi mimpi itu baru bergerak menjadi aksi nyata
pada dekade 1980-an. Mantan Gubernur Jatim Mochamad Noer bersama Prof Dr
Sedyatmo, penggagas fondasi cakar ayam, menyampaikan gagasan itu kepada
Presiden Suharto.
Empat tahun
kemudian, terbit Keppres No. 55 tahun 1990 tentang Proyek Pembangunan Jembatan
Suramadu dengan ketua tim pengarah Menristek B.J. Habibie. B.J. Habibie, yang
belakangan menjadi Presiden RI ke-3, mengerahkan para ahli untuk menapaki
rencana Presiden Suharto itu. Kajian demi kajian dilakukan. Konstruksi
megaproyek itu dijadwalkan digarap mulai 10 November 1996. Sayangnya, ketika
rencana itu hendak memasuki aras pelaksanaan, Indonesia digoncang krisis
moneter. Gejolak perekonomian yang melanda semenjak tahun 1997 sampai awal
tahun 1999, membuat rencana ini berhenti.
Ketika B.J. Habibie
naik menjadi presiden, rencana pembangunan Jembatan Suramadu tertunda karena
pemerintah fokus untuk memperbaiki perekonomian nasional yang diguncang
krisis.Pada era Presiden RI ke-4 Abdurahman Wahid, niat untuk melanjutkan
pembangunan Jembatan Suramadu muncul kembali. Namun gejolak sosial-politik yang
tinggi di era pemerintahan Gus Dur, sekaligus orientasi pemerintah yang
berfokus pada penguatan otonomi daerah, membuat sampai akhir masa jabatan
Presiden RI ke-4 rencana ini tidak terealisasi.
Saat Megawati
Sukarnoputeri menjabat Presiden RI ke-5, situasi Indonesia sudah jauh membaik
ketimbang era awal reformasi. Gagasan pembangunan Jembatan Suramadu muncul
kembali. Pemprov Jatim dibawah kepemimpinan Imam Utomo kerap mengingatkan
pemerintah pusat perihal pentingnya pembangunan jembatan ini.
Akhirnya, Kabinet
Gotong Royong di era pemerintahan Megawati pun fokus perihal Jembatan Suramadu.
Pada 20 Agustus 2003, Megawati meresmikan pembangunan awal (ground
breaking) Jembatan Suramadu.
Transisi kekuasaan
paska Pilpres 2004 dari Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak
menghentikan rencana ini. Pembangunan secara serentak, dari bagian tepi Madura
dan bagian tepi Surabaya, terus berlangsung.
Belakangan, masalah
kembali muncul. Sadar akan pentingnya rencana ini, seusai meninjau proyek besar
itu, SBY menggelar sidang “kabinet darurat” khusus untuk membahas kelanjutan
pembangunan Jembatan Suramadu. Rapat yang dihelat di kompleks Paiton, Pasuruan
itu dihadiri oleh sejumlah menteri-menteri terkait, termasuk Gubernur Jawa
Timur.
Masalah demi masalah
dibahas dalam rapat itu. Perkara pendanaan, diurun-rembukan solusinya.
Akhirnya, pada 10 Juni 2009, mimpi setengah abad itu akhirnya terwujud.
Perkiraan biaya pembangunan jembatan ini adalah sekitar Rp 4,5 triliun, dan
pelaksanaanya melalui masa pemerintahan 5 presiden. Tak heran dalam pidato
peresmian pembukaan Jembataan Suramadu, SBY turut menyampaikan terimakasih
kepada para pendahulunya.
“Dulu dalam pidato
saya, saya juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan dari Pak Habibie,
yang sebetulnya era Pak Harto saat itu. Kepada Presiden Gusdur, Presiden
Megawati saya juga ucapkan terima kasih, yang telah memulai ground
breaking-nya,” kata SBY.
Saat ini keberadaan
Jembatan Suramadu telah berdampak signifikan dan positif terhadap kehidupan
masyarakat. Setidaknya ada 5 manfaat dari beroperasinya jembatan yang
menghubungkan Surabaya-Madura ini. Pertama, Kelancaran arus lalu lintas,
terjadi kelancaran arus pengangkutan baik barang mau orang dari Madura ke Surabaya
dan sebaliknya. Dengan semakin lancarnya arus lalu lintas berarti lebih
mengefisiensikan waktu dan biaya.
Kedua, peningkatan
aktivitas perekonomian di sekitar jembatan Suramadu. Mengingat Jembatan
Suramadu juga menjadi destinasi wisata, maka pedagang penjual suvenir dan
kuliner pun bermunculan di sekitar kaki jembatan Suramadu.
Ketiga, pertumbuhan
PDRB di Madura. Mobilitas barang dan manusia antara Surabaya-Madura dan
sebaliknya menyebabkan tumbuhnya permintaan barang dan jasa. Muaranya adalah
peningkatan kegiatan perekonomian, berkembangnya usaha di sektor pertanian,
industri, perdagangan, jasa dan meningkatnya arus barang masuk ke Pulau Madura.
Keempat, pertumbuhan
PDRB kawasan Madura pada akhirnya mendorong pertumbuhan pendapatan perkapita
masyarakat Madura. Pendapatan per kapita merupakan salah satu indikator untuk
mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat.
Kelima, meningkatnya
Indeks Pembangunan Manusia masyarakat Madura. Di mana setiap tahun, IPM di
empat kabupaten Madura terus meningkat lebih cepat ketimbang sebelum Jembatan
Suramadu beroperasi. Rata-rata kenaikan IPM tertinggi dicapai oleh Kabupaten
Pamekasan.
Tentu saja masih ada
kekurangan di sana-sini, tetapi boleh disebut sejauh ini masih lebih besar
manfaatnya.
Akhirnya, Jembatan
Suramadu dapat disebut kisah manis cetak tangan banyak presiden. Dari
pembangunan jembatan ini, bangsa ini bisa belajar bahwa suatu pembangunan tidak
selayaknya patah di tengah jalan hanya karena transisi kepemimpinan nasional.
Tentu saja ini hanya bisa terjadi tatkala pemimpin-pemimpin itu mau menetak
egonya dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Apalagi jika ditambah dengan
pengakuan di mana letak cetak tangannya, dan di mana kontribusi
pemimpin-pemimpin lainnya.
Post a Comment