Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Awas Ratusan Proyek Mangkrak, Pak Jokowi Duit Infrastruktur Masih Ada?


Dan apa yang kita khawatirkan terhadap ambisi mega-proyek era Jokowi pun terjadi: kehabisan uang. Kali ini, bukan mereka yang berada di luar kekuasaan yang berteriak, tetapi justru kalangan internal pemerintah sendiri.

Adalah Sekjen Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PU-PR) Anita Firmanti Eko Susetyowati yang menyampaikan kegelisahan ini. Ia menyebut: sejumlah proyek infrastruktur yang dicanangkan pemerintah sangat sulit untuk diwujudkankan karena dana yang dimiliki sangat minim. Sialnya, menjelang tiga tahun Jokowi memerintah, ada penyelesaian proyek infrastruktur yang hanya 18 persen.

Artinya, ada segulung proyek yang berpotensi mangkrak jika pemerintah gagal mencari sumber-sumber pendanaan baru. Apa saja proyek yang terancam mangkrak itu? Sesuai dengan ambisi yang dituangkan dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Jokowi masih “berutang” 1.786 kilometer jalan baru, 42 waduk, dan sekitar 82 persen dari 38.341 hektare kawasan kumuh yang hendak disulap jadi asri.

Tentu saja ini cuma puncak gunung es dari ambisi Jokowi itu, mengingat Perpres itu menyangkut 225 proyek yang tersebar di seluruh negeri –artinya masih ada target pembangunan jaringan tol laut, bandara, dan lain-lain yang belum selesai. Padahal, target mayoritas proyek-proyek itu harus tuntas pada tahun 2018, atau setahun menjelang pelaksanaan Pilpres 2019.

Ironisnya, demi mewujudkan ambisi ini, pemerintah sampai berutang sana-sini. Per Febuari 2017, utang pemerintah pusat mencapai Rp3.589,12 triliun. Jumlah ini tumbuh 12,28 persen dari Rp3.196,61 triliun pada periode Januari 2016. 
Kemungkinan besar, jumlah ini akan terus meningkat karena sekarang Indonesia masih defisit anggaran. Penerimaan negara tahun ini ditarget Rp 1.750 triliun. Jauh lebih kecil ketimbang pagu anggaran belanja pemerintah sebesar Rp 2.020 triliun. Solusinya, Indonesia harus berutang Rp 270 triliun untuk menutupi defisit tersebut.

Tragisnya, pidato Jokowi di Konferensi Asia Afrika tempo hari melantangkan ketegasan Indonesia tidak boleh bergantung kepada lembaga donor seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB. Nyatanya, utang terus bertumbuh. Sekiranya, jumlah utang Indonesia dibagi sebanyak 260 juta penduduk Indonesia. Kira-kira setiap orang Indonesia menanggung beban utang sebesar USD$ 997 per kepala, atau sekitar Rp 13 juta. Termasuk bayi yang baru lahir.

Karena utang saja tidak cukup, Sri Mulyani pun dipanggil untuk menerapkan tax amnesty. Nyatanya, duitnya masih juga kurang. Lalu, proyek-proyek itu secara berkongsi dengan pihak swasta, terutama investor asing. Jika opsi ini mandeg, langkah selanjutnya adalah penugasan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Di atas kertas, keempatnya tampak rasional, tampak ciamik, tetapi nyatanya Sekjen Kemen PU-PR masih juga berteriak: duitnya tidak cukup Pak Presiden!
Akibat ambisi ini lagi-lagi masyarakat yang terbebani. Setelah subsidi BBM, kini subsidi listrik yang diotak-atik- target kenaikannya luar biasa sampai 30 persen dalam satu tahun. Padahal di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, PDIP –partai pengusung Jokowi itu– adalah pihak yang paling getol menolak kenaikan BBM dan TDL. Kemana jeritan politisi si moncong putih itu sekarang?

Nahasnya, pos anggaran pendidikan –yang paling sakral karena diamanatkan konstitusi harus minimal 20 persen itu—juga diotak-atik. Jokowi telah menginstruksikan Menteri Keuangan untuk mengurangi anggaran pendidikan. Padahal, secara riil dana untuk lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi baru mencapai 6 persen (Rp 128,99 triliun) dari APBN 2017 yang besarnya sekitar Rp 2.080,45 triliun (APBN 2017). Sehingga, jika alokasinya benar mencapai 20 persen, seharusnya dana pendidikan akan mencapai Rp 416,09 triliun.

Tetapi yang paling disayangkan tentu solusi pemerintah dalam menjawab kekurangan dana ini. kendati sudah semerbak, toh pemerintah masih berkilah dengan sedikitnya dua cara. Pertama, mewacanakan kalau target-target proyek ambisius itu sudah nyaris selesai. Bahkan Seknas Jokowi sampai mengandeng seword –satu situs yang terkenal menjadi tempat berhimpun para pembuat opini ala “fitnah dan hoax” sehingga penulisnya sempat diadukan ke polisi oleh Harry Tanoesudodjo.

Kedua, mendegradasi pencapaian pembangunan infrastruktur era pemerintahan SBY. Para buzzer pro pemerintah bekerja keras untuk mengopinikan seolah-seolah, bukan hanya kalah dari Jokowi, tetapi SBY tidak berbuat “apa-apa”. 

Lucunya, ketika serangan itu dibalas dengan rentetan infrastruktur yang dibangun semasa pemerintahan SBY, jempol para buzzer ini seperti mendadak cantengan. Saya sendiri cukup terhibur dengan serangan balasan ini. 

Bagaimanapun, meredupkan lampu orang agar lampu kita lebih terang jelas bukan tradisi politik beradab. Jadi, sekali lagi, izinkan saya bertanya serius: Pak Jokowi, duit infrastruktur masih ada? Hati-hati ratusan proyek bisa mangkrak loh!

Tidak ada komentar