Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Jangan Sampai Negara Salah!


Dapatkah kita membayangkan apa jadinya Republik Indonesia tanpa Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)? PDRI adalah salah tonggak sejarah Indonesia. Inisiatif Sjafruddin Prawiranegara mendirikan PDRI telah merusak skenario Belanda yang menggembor-gemborkan RI telah masuk kubur dengan tertangkapnya Soekarno-Hatta.
Pada masa itu, patriotisme dan nasionalisme bukan barang mahal. Ia dimiliki oleh pejabat negara, tentara sampai rakyat kecil. Kisah dukungan rakyat terhadap para pejuang RI amat kental, baik yang mendukung gerilya PDRI di Sumatera Barat maupun gerilya Panglima Sudirman di Pulau Jawa.
Maka tak salah bila Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan momen kelahiran PDRI sebagai Hari Bela Negara melalui Keppres No 28 Tahun 2006. Sebelumnya, Presiden ke 3 RI BJ Habibie telah menganugerahi Sjafruddin Prawiranegara dengan “Bintang RI Adipradana”.
Pertanyaannya, bagaimana memaknai patriotisme dan nasionalisme ala PDRI itu di era kampung global seperti sekarang ini? Ketika sekat-sekat administrasi negara menjadi bias akibat derasnya teknologi informasi, masih layakkah patriotisme dan nasionalisme diagung-agungkan?
Jawabannya, masih! Betapapun hidup dalam hiruk-pikuk kampung global, kita butuh yang namanya rumah; tempat di mana kita bisa cari selamat dari kehidupan yang kian hiruk-pikuk. Rumah itulah yang kita sebut nasionalisme. Konsekuensi, menurut Soekarno menjadi kewajiban setiap warga negara untuk terus merawat dan mengembangkan nasionalisme.
Tetapi rumah yang megah akan mubazir jika penghuninya hidup miskin, bodoh dan sakit-sakitan. Rumah yang megah tidak bermakna jika penghuninya hidup diamuk takut. Jangan sampai untuk membangun rumah, kesejahteraan penghuninya sampai diabaikan, karena sejatinya rumah itu dibangun demi kemashalatan penghuninya. Benang merahnya, menurut Bung Hatta, dalam kemegahan nasionalisme, rakyat tetap harus yang paling berdaulat. Arah dan kebijakan penyelenggara negara harus bersandarkan pada kedaulatan rakyat itu.
Kedua pemikiran ini sekilas bertolak-belakang, tetapi sejatinya tidak berbenturan. Keduanya dapat diterapkan secara linier; rumah yang megah dengan penghuninya yang sehat, kuat dan sejahtera.
Rakyat berdaulat dalam negara yang kuat bukan omong-kosong. Pasalnya, memperkuat salah satu hanya akan menyebabkan kekacauan. Negara yang kuat sementara rakyatnya lemah, akan memunculkan penguasa yang zalim. Rakyat yang resah dan melancarkan kritik yang kontruktif dituding tukang recok, bahkan berencana makar. Jika tidak dicegah, kondisi ini akan jatuh pada terwujudnya rezim otoritarian yang menyelesaikan segenap kegaduhan dengan main gebuk dan main tangkap.
Sebaliknya, rakyat yang kuat di negara yang lemah akan menyebabkan kegoncangan pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Stabilitas tidak terkendali. Situasi sosial, politik, sampai pertahanan-keamanan terus berfluktuasi. Produktivitas sering tergaduh. Muaranya, perekonomian menjadi sulit tumbuh karena risiko investasi amat tinggi.
Harmoni pemikiran Soekarno dan Hatta itu termaktub dalam UUD 1945 yang mengakomodasi klausul tentang hak-hak asasi manusia. Negara yang kuat, tapi juga rakyat yang berdaulat; pentingnya politik kebangsaan, tapi juga pentingnya demokrasi dan ekonomi yang menunjukkan kedaulatan rakyat.
Benar atau Salah Tetap Negaraku?
Pada peringatan Hari Bela Negara 2015, Presiden Jokowi berpesan agar setiap anak bangsa tergerak dan bergerak untuk bela negara sesuai dengan ladang pengabdiannya masing-masing. Bela negara dilakukan melalui pengabdian dalam aras profesi. Kita sepakat dengan amanat presiden ini, tetapi sepertinya hal itu tidak cukup. Bagaimana jika negara ditelikung penguasa sehingga bertindak salah.
Apakah layak warga negaranya berdiam? Memang ada ujar-ujarnya Winston Churcill, PM Inggris semasa perang dunia II yang belakangan menjadi slogan legendaris perihal nasionalisme; right or wrong is my country. Benar atau salah tetaplah negaraku; dapatkah hal ini kita terapkan juga dalam nasionalisme dan patriotisme ala Indonesia?
Sejarah hitam-putih, tentu saja tidak. Bagaimana mungkin mendukung negara yang salah arah? Akankah kita membiarkan penguasa yang zalim menelikung esensi dari tujuan bernegara, yaitu Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur? Tentu ada yang salah dengan kewarasan nasional jika sisi hitam ini tetap menerima dukungan dari segenap warga negara.
Karenanya, ada baiknya slogan ini disempurnakan. Right or wrong is my country, therefore do not let the country make a mistake. Jangan biarkan negara salah langkah. Adalah kewajiban setiap warga negara untuk mengingatkan penguasa agar tidak bertindak salah yang berpotensi membuat negara juga berlaku salah. Pada posisi ini kritik konstruktif tentu diperlukan.
Kritik dapat dilancarkan dalam berbagai saluran: diskusi, kampanye di media massa dan media sosial, petisi, sampai unjukrasa ke gedung DPR. Semua itu sah-sah saja selama tetap berpijak pada koridor hukum. Jangan pemerintah lantas tergagap-gagap, apalagi kalap. Karena, ini pun sejatinya adalah implementasi dari dari hakikat bela negara.
Aksi bela negara amat berbeda dengan makar. Betapapun zalimnya pemerintah, transisi kekuasaan harus dilakukan dalam kerangka yang konstitusional. Persoalannya adalah kecerdasan kita untuk membedakan keduanya.

Tidak ada komentar