Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

SBY dan 5 Jawaban untuk Tudingan Makar


Setelah Presiden Jokowi membuat kehebohan perihal keberadaan aktor politik yang menunggangi demonstrasi 4 November tanpa menyebut siapa orangnya, kini giliran Kapolri Tito Karnavian yang membuat kegemparan. Kapolri menyebut ada upaya makar pada aksi 25 November mendatang. “Kalau itu bermaksud untuk menjatuhkan atau menggulingkan pemerintah, termasuk pasal makar,” ujar Tito. lihat Kapolri Sebut AdaUpaya Makar pada Aksi 25 November 

Bagi pemerintah, makar atau galib disebut kudeta memang perbuatan terkeji. Makar artinya membuat eksekutif impoten melaksanakan fungsi dan tugasnya, termasuk menjungkal pemerintah secara tidak konstitusional. Sehingga, cap makar amat ditakuti seorang negarawan. Ketika cap makar distempel, dan ambrol menjadi kepercayaan di sanubari rakyat, sekonyong-konyong mengoyak-moyak ketulusan pengabdian seorang negarawan. Bagi seorang negarawan, vonis makar bukan tamparan besar, melainkan belati yang menembus dari dada hingga ke punggung. Suatu penghinaan teramat sangat.

Sebelum Fahri Hamzah, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah satu sosok yang dituding hendak berbuat makar. Tampak jelas suatu skenario di media sosial yang mengiring opini publik terhadap SBY, dari aktor dibalik aksi unjukrasa umat Islam 4 November silam, sampai bermaksud berbuat makar. Skenario ini, apalagi dikenakan kepada mantan presiden, jelas suatu fitnah yang keji. Bukan hanya SBY, seluruh mantan presiden, saya amat yakin, pasti akan mengeledek jika dituding hendak berbuat makar.

Karena makar bertentangan dengan negarawan; seseorang yang memproduksi nilai-nilai kebajikan semata-mata untuk kepentingan negara. Keduanya saling meniadakan. Seorang negawaran mustahil bertindak makar; dan sebaliknya makar tidak akan menyeruak dari pikiran negarawan sejati.

Jika saya berada pada posisi SBY, maka saya akan mengatakan 5 alasan ini untuk menjawab tudingan makar itu: 

Pertama, paska reformasi, hampir mustahil seorang mantan presiden bermaksud makar terhadap presiden yang berkuasa. Transisi kekuasaan yang tidak mengenakan dari Habibie ke Gus Dur; dan selanjutnya dari Gus Dur ke Megawati, tidak menerbitkan aksi makar. Bahkan, sejak Pemilu 2004, makar kepada presiden artinya melawan rakyat.

Sebagaimana kita ketahui, SBY adalah produk dari pemilu langsung presiden dan wakil presiden pertama di Indonesia. Sebagai seorang pemimpin yang lahir dari proses demokrasi, SBY tentu berkewajiban memelihara ‘ibu’ yang melahirkannya, serta mendidik ‘anak-anak’ demokrasi lainnya untuk meneruskan proses berharga tersebut. Fakta dan nilai ini, tak pelak membuat SBY senantiasa tunduk, patuh dan akan merawat sistem transisi kekuasaan yang konstitusional.

Kedua, demokrasi Indonesia hari ini tidak bisa dilepaskan dari cetak tangan presiden-presiden sebelumnya. Proses demokratisasi dimulai dari era Habibie, lanjut ke Gus Dur, Megawati, SBY dan akhirnya Jokowi. Pelbagai tindakan telah dilakukan: wewenang lembaga kenegaraan dikaji ulang, periodesasi presiden dibatasi, istilah pribumi-non pribumi dilucuti, sampai sentralisasi kekuasaan di Jakarta diakhiri. Sehingga, aksi makar tidak ubahnya suatu penistaan proses demokrasi yang telah dibangun oleh presiden-presiden sebelumnya.

Ketiga, SBY mustahil memporak-porandakan rumah demokrasi yang susah-payah dibangunnya. Bara K. Hasibuan, dalam artikel Indonesia Sebuah Functioning Democracy, menyebut kontribusi terbesar dari pemerintah Yudhoyono adalah mewujudkan peningkatan kualitas dari demokrasi sehingga bukan hanya terbatas pada level prosedural.
Tidak dapat dipungkiri, semasa pemerintahan SBY, proses demokratisasi menderas. Dalam pelbagai diskusi, SBY kerap disebut sebagai presiden berlatar militer tetapi amat paham pikiran orang sipil. SBY mengawal betul-betul proses demokratisasi. Kebebasan berpendapat kian diberi ruang. Media massa sebagai pilar demokrasi keempat dibebaskan bergerak; dalam banyak kasus bahkan terkesan lebih bebas ketimbang pers di negeri Paman Sam.

Sehingga wajar, jika survei SMRC yang dihelat pada akhir September 2013, menemukan kecenderungan rakyat untuk mengindentikan masa pemerintahan SBY sebagai era demokrasi. Lihat : Survei SMRC: Masa Soeharto = Diktator, Era SBY = Demokrasi  

Salah satu titik puncak dari pengawalan proses demokratisasi oleh SBY adalah ketika ia tegas menolak menyetujui UU Pilkada yang membuat pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati dilakukan oleh DPRD. Penolakan ini bukan tanpa risiko politik, sebab ketika itu Koalisi Merah Putih (Gerindra, PAN, PKS, PPP, dan Golkar) adalah pemilik kursi mayoritas di DPR.

Nyatanya, risiko politik itu tetap ditempuh. Pikiran Presiden RI ke-6 ini hanya satu, mencegah demokrasi Indonesia mundur ke belakang. Dengan sigap, SBY menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, serta Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bayangkan jika UU Pilkada versi DPR itu sampai diterbit. Tentu demokrasi pilkada akan senyap. Pilkafa akan kembali menjadi otoritas elit-elit di DPRD. Rakyat kembali menjadi penonton semata seperti masa silam.

Nyatanya kebijakan SBY benar adanya. Rakyat amat mengapresiasi. Sebesar 75,2% publik yang disurvei LSI menyatakan setuju dengan tindakan SBY itu. Lihat: Mayoritas Publik Dukung SBYKeluarkan PERPPU Pilkada langsung.
  
Keempat, makar akan berdampak pada kegoncangan politik. Sebaliknya, sepanjang pemerintahannya, SBY senantiasa menjaga kestabilan politik. Arief Budiman dalam artikel Fenomena SBY Dalam Politik Indonesia, menyebut modal pertama dan utama SBY adalah dia akan bisa membawa kestabilan politik. SBY amat paham, dengan politik yang stabil, rakyat dapat mengharapkan kehidupan politik yang demokratis terselenggara. Selanjutnya, kestabilan politik juga memungkinkan penyelenggaraan pembangunan ekonomi yang baik.

Kendati belum signifikan, tetapi gonjang-ganjing politik sudah mulai meneror perekonomian Jakarta. Lihat saja, gesekan politik yang berbuntut santernya isu rush money sehingga polisi tunggang-tunggik terjun mencari si penyebar isu itu. Belum lagi asosiasi pengusaha pusat perbelanjaan dan perhotelan yang langsung bersiaga, atau para pedagang Glodok yang tutup toko ketika unjukrasa dihelat. Jika hal ini tidak lekas diantisipasi boleh jadi dampak negatifnya akan naik signifikan.

Kelima, hal yang tidak kalah penting adalah faktor karakter SBY sendiri. Ia seorang politisi santun yang kukuh memegang ilmu putih: jurus haram fitnah dan koridor jalan politik lurus bermartabat. Tiga dasawarsa menjadi prajurit, 5 tahun sebagai menteri dan 10 tahun menjabat presiden, 45 tahun jelas bukan waktu pengabdian yang singkat. Belum lagi nasihat mertuanya Jenderal Sarwo Edhie Wibowo yang senantiasa mendengung-dengungkan dua hal: kebenaran di atas jalan tuhan, serta hidupku untuk negara dan bangsa. Segenapnya, telah mengembleng SBY menjadi sosok pengabdi bangsa dan negara; seorang negarawan. Dan sesuai tesis awal saya, negarawan dan makar adalah dua hal yang bertentangan, yang saling meniadakan.

Lima alasan ini yang menurut saya dapat menjadi jawaban atas tudingan SBY sebagai aktor dibalik unjukrasa 4 November, apalagi hendak berbuat makar. Unjuk rasa 4 November murni merupakan ledakan dari keresahan umat Islam. Ledakan itu tidak bisa direkayasa dengan setumpuk uang sebagaimana isu-isu yang dihembuskan untuk mendegradasi semangat tulus umat Islam itu.

Bandingkan dengan aksi parade Bhineka 19 November silam yang sudah dirintis berhari-hari. Setiap orang dibekali dengan kostum khusus. Sempat beredar jepretan kamera yang memotret aksi beberapa orang sedang bagi-bagi uang. Nyatanya, massa yang datang hanya segelintir jika dibandingkan dengan unjukrasa 4 November. 

Kembali para pernyataan Kapolri, sebaiknya Tito Karnavian tidak memperkeruh suasana dengan mengipas-kipas isu makar dalam rencana unjukrasa 25 November mendatang. Tidak ada manfaatnya kecuali  kian meningkatkan tensi keresahan publik. Jika  polisi telah menemukan bukti-bukti, silakan proses menurut hukum yang berlaku. Publik sudah gerah dengan ketegangan politik tanah air belakangan ini. Jangan lagi ditambah-tambah.


Lagipula toh, Mekopolkam Wiranto menyebut basis dari tudingan makar itu hanya media sosial.

kompasiana  

Tidak ada komentar