Massa Bayaran, Jangan Mental Dagang-lah!
"Mengapa sebuah gunung seperti gunung Kelud meledak ? Ia meledak oleh karena lobang kepundannya tersumbat. Ia meledak oleh karena tidak ada jalan bagi kekuatan-kekuatan yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Kekuatan-kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit dan...........DORRR. Keseluruhan itu meletus." --Bung Karno.
Demikian ilustrasi Sukarno
ikhwal hasrat yang mampat, dan akhirnya meledak. Dan hari ini kita tahu bahwa
ilustrasi itu benar adanya. Hasrat ingin cepat merdeka kaum muda Indonesia,
telah membawa mereka menculik Sukarno Hatta ke Rengasdengklok. Hasrat itu pula
yang membuat para daidanco dan syudanco PETA di kawasan Jakarta siap
mengobarkan peperangan melawan Jepang pada Agustus itu.
Dalam kacamata saya,
hasrat itu pula yang menyatukan ratusan ribu massa pada unjukrasa 4 November
silam. Hasrat yang tertekan. Hasrat untuk membela sesuatu yang diyakini penuh.
Sungguh aksi yang luar-biasa. Pelbagai media menaksir unjukrasa itu diikuti
oleh 50 ribu-200 ribu orang. Sayangnya hasrat ini lantas ditelikung dengan
tudingan demo bayaran.
Menghimpun ratusan orang
dalam aksi unjuk rasa memang sulit, apalagi sampai ratusan ribu orang. Bukan
pekerjaan yang gampang, tetapi bukan mustahil. Sejarah kita mencatat pelbagai
gelombang puncak unjukrasa tersebut.
Demontrasi Lapangan Ikada
misalnya. Pandangan mata seorang Ambon pengikut NICA mencatat, sekitar 15 ribu
orang hadir. Bayangkan pusingnya kaum muda Jakarta jika mereka yang hadir itu
harus dibayar? Unjukrasa 1998 juga demikian. Apa mereka dibayar?
Lantas, bagaimana dengan
konser salam 2 jari? Konon 100 ribu orang hadir? Apakah mereka dibayar? Jika
kita bisa membayangkan ada keriuhan ribuan orang berjoget dalam musik yang mengentak;
mengapa tidak bisa pula ada mereka yang berduyun-duyun ikhlas saku, hadir untuk
membela keyakinannya?
Betul, yang namanya
unjukrasa besar-besaran memang butuh logistik; buat makan dan transportasi.
Bukankah sewaktu unjukrasa silam ada dapur-dapur umum yang dibuka? Ada mereka
yang membiarkan mobilnya dijejal-jejal, biar kian banyak pengunjukrasa
terangkat?
Ini sudah galib. Azas
bahu-membahu dalam perjuangan. Tetapi mengeneralisasi kehadiran massa 4
November silam semata-mata karena logistik tentu keterlaluan.
Tudingan tersebut bukan
hanya mengoyak tenunan keikhlasan untuk berjuang, tetapi suatu upaya untuk
mencemari tujuan unjukrasa yang hendak dicapai.
Kenapa sulit sekali
mengaku bahwa ikatan emosi dan spirit yang sama dapat menyatukan massa.
Sekonyong-konyong uang? Ah, saya tak habis pikir.
pernah dimuat di kompasiana
pernah dimuat di kompasiana
Post a Comment