Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Gus Dur, Silaturahmi, dan Indonesia Hari Ini

Kalau pemilihan manusia silahturahmi, saya akan langsung merekomendasikan KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur).  Presiden RI ke-4 ini kesohor gandrung bersilahturahmi. Ia tak kenal lelah bersilahturahmi. Tidak ada batasan baginya dalam bersilahturahmi, dalam menyambangi. Mulai kelas menengah di perkotaan sampai kaum tani di pedesaan terpencil, dari sejawat akrab sampai seteru-seteru politik, dari para pembesar sampai, meminjam istilah Iwan Fals, kaum kusam.

"Silaturahmi jangan sampai putus," kata Gus Dur kepada Mahfud MD, ketika minum teh dan mengunyah rempeyek kacang di rumah mantan ketua MK itu.

Uniknya, pertemuan itu terselenggara saat desas-desus perang dingin antara Gus Dur dan Mahfud sedang santer-santernya. Ketika itu Mahfud baru menolak masuk DPP PKB hasil Muktamar II di Semarang pada 2005.  Silakan lihat Gus Dur Magnet Silaturahmi

Sepanjang saya hidup, tidak pernah saya temukan ada silaturahmi yang membawa kemudaratan. Dari definisinya saja, bisa kita pahami betapa bermanfaatnya menyambung tali silahturahmi. Secara harfiah, silaturahmi bermakna menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Saya pikir, karena nilai kebaikan itulah Gus Dur menjadi gandrung bersilaturahmi. Dan kegandrungan tersebut, tak pelak menjadi penguat munculnya keseganan dan kecintaan masyarakat terhadap Gus Dur.

Malangnya, belakangan ini malah muncul sekelompok kalangan yang seolah-olah hendak memutus tali silaturahmi. Dalam kondisi Indonesia yang sedang panas-dingin, mereka malah melantangkan hujatan demi hujatan agar Jokowi tidak bersilaturahmi dengan SBY.

Bukankah Presiden RI ke-7 dan Presiden RI ke-6 justru harus kerap bersilaturahmi? Pengalaman SBY memimpin Indonesia selama satu dasawarsa amat bermanfaat bagi penerusnya, Jokowi. Desas-desus yang beredar dapat ditindas lenyap. Dan akhirnya, rakyat ramai dapat keluar dari selimut keresahan yang mendera Indonesia belakangan ini.

Tidak ada keburukan dalam silaturahmi, justru silaturahmi dapat menjadi ajang untuk menggeramus keburukan itu. Bahkan Ahmad Musthafa Al-Maraghi, hujjahtul Islam yang kesohor dengan tafsir Al Maraghi, menyebut, "yaitu menyambungkan kebaikan dan menolak sesuatu yang merugikan dengan sekemampuan". Dalam silaturahmi kebaikan disambung, dan kemudaratan ditepis kuat-kuat.

Jika demikian nilai-nilai kebaikan silahturahmi, lantas mengapa silaturahmi Jokowi-SBY masih pula dihalang-halangi? Jangan-jangan, ada yang salah dengan kepala kita?

pernah dimuat di kompasiana 

Tidak ada komentar