Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Pak Wiranto, Berhentilah Bikin Malu Pak Jokowi!


Mangkel rasanya membaca pernyataan Menko Polhukam Wiranto. Lewat media, mantan Ketum Partai Hanura ini bilang bahwa pengentasan dan penanganan kebakaran dan lahan (karhutla) seharusnya menjadi tanggung jawab pemda. Mulai dari tingkat kepala desa, camat, bupati atau wali kota, hingga gubernur. Sementaranya, pemerintah pusat hanya berlaku sebagai koordinator.
Ujung-ujungnya Wiranto minta pemda untuk bisa mandiri dalam menghadapi karhutla yang terjadi hampir setiap tahunnya.
Sebelumnya Wiranto juga menuding ada muatan politik dalam karhutla. Ada pihak-pihak yang sengaja membakar hutan karena ada persaingan politik menjelang Pilkada serentak tahun depan. Intinya, jika para Kepala Daerah itu gagal mengatasi karhutla, citra mereka akan merosot dalam kompetisi politik tahun depan.
Dua pernyataan Wiranto ini adalah bukti bahwa revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi masih jauh dari selesai, termasuk di lingkaran dekatnya. Buktinya, alih-alih fokus pada solusi, Wiranto malah mencari kambing hitam.
Dengan membangun dikotomi tanggungjawab pusat-daerah, dan isu muatan politik itu, Wiranto terkesan ingin pemerintah pusat “cuci tangan” dari kasus karhutla. Pernyataan Wiranto telah membuat pemerintahan Jokowi terkesan menjelma rezim “Buang Badan”—satu rezim yang gegap gempita mendaku prestasi, tapi mampus-mampus menyangkal apabila terjadi masalah. Ini jelas bukan produk revolusi mental yang diharapkan Jokowi.
Wajar kalau rakyat dongkol dengan mentalitas Wiranto. Kalau memang kuncinya di Pemda, mengapa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mau menerima penghargaan Global Landscape Fire Award 2019 yang diberikan Global Fire Monitoring Center? Padahal penghargaan ini nyata-nyata sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras Pemerintah Indonesia dan seluruh stakeholders dalam upaya pengendalian Karhutla pasca kejadian dahsyat tahun 2015.
Apalagi isu muatan politik! Bagaimana mungkin bisa muncul kesimpulan ini apabila pelaku karhutla sendiri belum ditangkap.
Lagipula, menimbang dampak karhutla yang terus meluas ini, apa untungnya dua isu itu diangkat ke depan publik. Memangnya kalau karhutla itu tanggungjawab pemda lantas asapnya tidak akan masuk ke hidung orang-orang di Riau, Jambi, Sumsel, Sumbar dan Kalimantan? Memangnya kalau karhutla ini akibat persaingan politik maka penyelesaiannya bisa lebih cepat?
Yang rakyat butuhkan adalah solusi. Bukan pemerintah pusat dan pemda yang lempar-melempar tanggungjawab. Bukan pula analisis yang bikin pikiran rakyat makin kacau.
Terlebih karhutla adalah bencana yang punya potensi berulang tiap tahunnya sehingga sudah selayaknya pencegahan dan pengendaliannya dilakukan secara ekstraordinary. Langsung dibawah komando Presiden RI, yang kali ini dipegang oleh Jokowi.
Dulu, pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karhutla besar juga terjadi. Tetapi kala itu masyarakat bisa lebih tenang. Pasalnya, SBY cepat bertindak. Jajaran pemerintah pusat saat itu tidak buang-buang waktu untuk membahas ini “tanggungjawab” siapa”, tapi “tindakan” apa yang harus dilakukan. Keseriusan dan sinergi pusat-daerah dalam menuntaskan karhutla membuat masyarakat tenang. Malaysia dan Singapura pun menghargai bahkan mendukung kebijakan yang dilakukan pemerintah.
Saya yakin hal yang sama juga sedang diupayakan Jokowi. Saya yakin Presiden Jokowi punya rencana aksi yang tepat untuk menangani karhutla. Rencana aksi yang pasti melibatkan sinergi antara pusat-daerah. Rencana aksi yang berada di atas kepentingan politik apapun. Dan dengan senang hati rakyat Indonesia menunggu rencana-rencana aksi tersebut.
Jangan sampai hanya karena mentalitas Wiranto, rencana-rencana aksi ini terganggu. Jangan sampai gara-gara aksi caper Wiranto kepada Jokowi, tudingan revolusi mental gagal sejak jarak “seinchi” mendapat tempat kembali di benak rakyat Indonesia yang gelisah.
sumber : politiktoday 

Tidak ada komentar