Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Jadi Patriot Itu Berat, Biar AHY Saja


Kita harus angkat topi untuk Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Rabu sore (16/5/2019) kemarin, AHY kembali menghimbau perihal pentingnya rekonsiliasi bangsa pasca Pemilu 2019. Himbauan ini disampaikan dalam "Silaturahmi Bogor Untuk Indonesia". Selain AHY yang mewakili The Yudhoyono Institute, hadir pula Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid---keduanya anak mantan presiden RI, serta delapan kepala daerah yang terbilang muda.
Himbauan AHY benar adanya. Hari ini pembelahan bangsa makin melebar dari hari ke hari. Alih-alih terobati, luka-pilu Indonesia tersebab Pemilu 2019 malah menjadi-jadi. Dalam kondisi begini, segala upaya untuk menyejukan panas sengketa patut diapresiasi. Gagasan rekonsiliasi untuk menjahit badan Indonesia yang koyak-moyak patut diapresiasi.
Himbauan AHY makin bernilai sebab ia yang paling punya beban. Secara dikotomi Pilpres, AHY satu-satunya pendukung Prabowo-Sandi di antara peserta yang punya afiliasi dengan paslon 01 di Pilpres tempo hari. Meskipun para tokoh muda itu bicara kebangsaan, para buzzer pasti akan menggoreng-gorengnya jadi deal politik
Tentu saja AHY sudah memprediksi bahwa dirinya bakal jadi samsak tinju para buzzer.  Apalagi, sebelumnya AHY sudah mengecap betapa dahsyatnya mesin penghancur medsos sewaktu memenuhi undangan silaturahmi dari Presiden Jokowi. Aneh memang. Orangtua-orangtua dahulu kerap menasihati kita untuk menyambung tali silaturahmi. Tapi sekarang gara-gara urusan politik, silaturahmi seolah-olah menjadi perilaku haram. Bahkan di bulan Ramadhan.
Tapi toh AHY datang juga. Babak-belurlah dirinya di medsos. Himbauan kebangsaannya digoreng-goreng di media massa. Maklum, media massa kita---baik luring maupun daring--- sedang ngos-ngosan kalau menyangkut edukasi public. Media massa kita lagi kena tren dahaga visitor. Mereka paham gerak-langkah AHY amat gampang dipelintir untuk menarik orang membaca.
Tapi semua ini yang justru membuat kita makin respek dengan AHY. Sebab langkah anomali AHY di barisan pendukung paslon 02 justru yang dibutuhkan Indonesia hari ini. Sebagai Komandan Kogasma Demokrat, AHY sudah menegaskan kalau dirinya menghormati segala keputusan BPN Prabowo-Sandiaga. Tetapi sebagai individu, AHY punya pandangan berbeda. AHY punya jalan sendiri, jalan yang disebutnya sebagai: "upaya menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas yang lainnya."
Sejak kapan "upaya menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas yang lainnya" menjadi satu kesalahan? Dalam kondisi ideal hanya orang "sakit" yang akan setuju. Masalahnya, Indonesia hari ini sedang sakit. Ada virus politik identitas, hoaks, persekusi hingga "post-truth politics" disuntik ke dalam kompetisi politik di Indonesia. Dan virus ini bila tidak lekas diobati akan memperparah perpecahan bangsa hari ini.
Kedatangan AHY ke Istana Merdeka atas undangan Jokowi. Lalu ke Istana Bogor atas undangan Walikota Bima Arya adalah dalam rangka mengobati virus ini. Dampak kerusakan yang disebabkan virus ini hanya bisa disembuhkan melalui rekonsiliasi. Dan kunci dari rekonsiliasi adalah dialog di antara mereka yang sekian lama terpisahkan, di antara mereka yang punya beragam pandangan. AHY muncul untuk menjawab tantangan ini.
Sebagai penutup, ada quote bijak dari SBY: "Seorang patriot bukan hanya berteriak minta perubahan, tapi maju ke depan dan memimpin sendiri perubahan itu." AHY sedang merambahi jalan ini. Dia bukan hanya berseru, tapi bertindak nyata untuk membuktikan apa yang diyakininya. Kalau untuk itu, AHY harus dihabisi oleh kalangan yang menangguk untung dari perpecahan Indonesia, terang itu adalah resiko perjuangan. Berkorban demi kepentingan yang lebih besar. Ya, menjadi patriot itu memang berat!
sumber: kompasiana

Tidak ada komentar