Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Prabowo dan La Nyalla; Mencari Kebenaran di antara “Kebohongan” dan “Tukang Palak” ?


Menjelang akhir jadwal pendaftaran Pilkada Serentak 2018, politik Indonesia dilanda gempa dahsyat. Gempa itu berbentuk tuduhan La Nyalla Mattalitti. Tidak seorang pun yang menduga La Nyalla akan seblak-blakan itu, senekad itu.

Bagaimana tidak? La Nyalla terang-terangan mengaku dimintai uang Rp 200 milyar oleh Prabowo Subianto, sebagai syarat diterbitkannya rekomendasi Partai Gerindra untuk pencalonan La Nyalla di Pilgub Jawa Timur.

Waketum Partai Gerindra Arief Poyuono sudah membantah. Tetapi bantahannya pun ambigu. Arief menyebut tidak ada permintaan uang Rp 40 miliar, tetapi kalaupun ada itu diperuntukan untuk saksi. Pernyataan ini terang mengherankan.

Pertama, berbeda dengan La Nyalla yang tegas-tegas mengaku dimintai uang; Arief Poyuono terkesan tidak berani memastikan sikapnya. Makanya informasi yang dilemparkan adalah “tidak ada”, tetapi “kalau ada itu untuk saksi”.

Dua informasi ini terang bertolak-belakang, dan tidak mungkin benar keduanya. Namun logikanya, jika Arief benar-benar yakin “tidak ada”, semestinya informasi “kalau ada itu untuk saksi” tidak terungkapkan. Artinya, Arief pun ragu dengan pernyataan yang ia buat.

Kedua, dari segi jumlahnya pun berbeda. Arief menyebut Rp 40 milyar untuk saksi, tetapi La Nyalla menyebut dimintai Rp 200 milyar. Ada selisih Rp 160 milyar di sini. Pertanyaannya, apakah ini benar satu permintaan yang sama? Atau dua permintaan yang berbeda?

Jika informasi itu adalah satu permintaan yang sama, mengapa jumlahnya berbeda? Jika benar Rp 40 milyar yang diminta buat honor saksi, maka sisa Rp 160 milyar ini buat apa? Untuk biaya operasional kampanye? Atau untuk membeli surat rekomendasi Partai Gerindra? Atau keduanya?

Ketiga, kalaupun benar itu adalah uang saksi, sesuai pengakuan La Nyalla, lalu mengapa ia  diminta untuk menyiapkan pada akhir Desember 2017? Sehingga pada tanggal 20 Desember 2017, saat La Nyalla merasa tidak mampu memenuhi syarat itu, ia akhirnya menyerah. Bukankah penghitungan suara baru dilakukan pada Juni 2018? Apa tidak terlalu cepat bicara dan menunjukan “bertumpuk-tumpuk” uang saksi pada akhir tahun 2017? Sedangkan pendaftaran bacalon saja belum dibukan oleh KPU Jatim.

Keruan, informasi La Nyalla dan Arief Poyuono terang membingungkan. Saya hampir bisa memastikan mustahil keduanya benar. Pasti ada salah satunya yang salah. Pasti ada salah sesorang yang sengaja berbohong. Siapakah si pembohong itu?

Kalau yang salah adalah La Nyalla, saya pribadi tidak akan sedramatis ini. Tersebab, ini tak lebih dari kemarahan kandidat yang gagal mendapatkan rekomendasi parpol. Galib saja kalau La Nyalla marah menimbang pengakuannya bahwa ia adalah kader Partai Gerindra sejak 2009. Pada Pilpres 2014, La Nyalla merupakan salah satu ketua tim relawan pemenangan Prabowo-Hatta. Dan sampai konferensi persnya tempo hari, La Nyalla mengaku terus memperjuangkan Prabowo Subianto.

Tapi marah dengan menyebarkan kabar bohong kepada publik adalah dua hal yang berbeda. Marah berimbas pada diri La Nyalla pribadi, sementara kabar bohong berimbas pada keresahan publik. Kabar bohong tentu akan merusak tata nilai demokrasi di Indonesia. Harus ada tindakan serius jika benar La Nyalla telah membohongi publik akibat kecewaanya terhadap Partai Gerindra dan Prabowo.
Namun, bagaimana bila semua yang disampaikan La Nyalla benar adanya. Keruan, akan ada tiga kesimpulan yang kita dapat.

Pertama, Prabowo dan atau Partai Gerindra tidak sekaya itu. Partai Gerindra selama ini membangun citra sebagai partai dengan sokongan modal luar biasa. Modal ini didukung utamanya oleh Prabowo Subianto dan Hashim Sujono Djojohadikusumo. Dengan keberadaan modal internal inilah Partai Gerindra mencitrakan diri sebagai partai yang tidak akan merepotkan kandidat-kandidat calon kepala daerahnya, caleg, hingga kader-kadernya.

Apalabila pernyataan La Nyalla ini terbukti, maka rumor bahwa duet Prabowo-Hashim sedang kepayahan mengurus modal operasional partai Gerindra terbukti kebenarannya. Karena kekurangan modal, dengan terpaksa, biaya operasional pun diperas dari para kandidat-kandidat calon kepala daerahnya, bahkan kelak dari para kadernya.

Kedua, pernyataan La Nyalla secara langsung mendegradasi klaim Partai Gerindra sebagai partai yang bebas dari politik uang. Ada budaya transaksional di sana. Sesuatu yang sekian lama diseru-serukan sebagai penyakit politik Indonesia. Dan ternyata Prabowo yang digadang-gadang sebagai capres 2019 turut terjebak dalam pusaran ini.

Ketiga, Prabowo tidak sebersih yang publik bayangkan. Yang tidak kalah pentingnya adalah perihal nama baik Prabowo. Coba saja bayangkan! Capres 2014, dan kemungkinan capres 2019 mendatang, meminta uang Rp 200 milyar dari kandidat kepala daerah yang hendak diusung Partai Gerindra? Narasi ini jelas berbahaya ditengah-tengah hasil survey di mana Prabowo masih tetap penantang terkuat bagi Jokowi dalam pemilu 2019 mendatang.

Saya pikir Partai Gerindra tidak boleh anggap remeh pengakuan La Nyalla. Harus ada pernyataan resmi dari DPP Gerindra, sekaligus langkah-langkah kongkrit untuk membuktikan kepada publik bahwa pengakuan La Nyalla hanya omong-kosong. Penyelesaian di jalur hukum bisa menjadi solusi, yakni Partai Gerindra menuntut La Nyalla untuk membuktikan tuduhannya di depan pengadilan. Ini penting untuk memastikan persepsi Prabowo tidak jatuh sebagai “tukang palak” di mata publik.

Tidak ada komentar