Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Demi Optimisme Rakyat; Gerindra, PKS, Hanura dan PPP Mesti Tuntaskan Rumor Mahar Politik di Pengadilan


Sedih hati kita membaca pemberitaan media massa belakangan ini. Rumor mahar politik—politik transaksional—sedang tren. Yang terpapar pun bukan parpol-parpol sembarangan. Ada Gerindra, PKS, Hanura dan terakhir PPP. Jumlah mahar ini pun tak main-main.

La Nyalla misalnya mengakui dimintai Rp200 milyar oleh oknum Partai Gerindra. John Krisli bacalon Walikota Samarinda mengaku diminta oleh oknum Partai Gerindra di Palangkaraya untuk membayar Rp 1,4 miliar, setara harga 4 kursi DPRD Kota Palangkaraya yang masing-masing dihargai Rp 350 juta. Sementara untuk PPP, John mengaku dimintai Rp1 miliar. Sementara Osman Sapta Odong dituding terlibat mahar politik, plus tuduhan menyelewengkan Rp200 milyar uang Partai Hanura
                   
Tragisnya, saya yakin, mereka yang memberikan dan menerima mahar politik sama-sama paham bahwa tindakan itu berkonsekuensi hukum pidana. Mereka bisa dipidana, tetapi toh rumor ini tak juga tergerus.

Rumor ini terang mengkhawatirkan di tengah upaya bangsa ini membangun gerakan antikorupsi. Membangun pemerintahan yang bersih. Kita sudah sama-sama paham bahwa biaya kampanye pilkada jumlah puluhan bahkan ratusan milyar, bila ditambah dengan kewajiban mahar, bisa dibayangkan betapa besarnya dana yang harus dikeluarkan seorang kandidat untuk bisa dicalonkan dan memenangkan kompetisi itu.

Ambil contoh kasus La Nyalla itu. Ilustrasinya begini. Sekiranya ia harus menyiapkan uang Rp.200 M sebagai “mahar politik” atau taruh kata Rp.300 Milyar untuk total dana pemenangan. Jika ia menjabat selama 1 periode atau 5 tahun, ini sama saja dengan ia harus mendapatkan uang sebesar Rp. 5 M per bulan untuk mengembalikan dana yang telah dikeluarkannya. Adakah total pendapatan Gubernur Jatim sampai Rp5 milyar perbulan?

Betapa tingginya biaya politik. Ini yang lantas menjadi salah satu pembenaran para kepala daerah berprilaku korup. Ada dorongan di dalam hati untuk mengembalikan modal politik yang telah ia keluarkan. Dan karena pendapatan sah seorang kepala daerah tidak mencukupi, maka modus mengakali APBD menjadi pilihan.

Rumor ini klop dengan data KPK terkait banyaknya kepala daerah yang tersandung kasus korupsi.  Data KPK mencatat jumlah kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi dari tahun 2004 hingga 30 November 2017 mencapai 87 orang. Rinciannya: 18 gubernur dan sisanya 69 orang bupati/wali kota beserta wakilnya.

Dari sisi parpol, mahar politik agaknya merupakan salah satu cara untuk memupuk modal untuk operasional parpol, utamanya menghadapi pileg dan pilpres yang tinggal setahun ini. Hitungan kasarnya begini. Pilkada serentak 2018 diikuti oleh 171 daerah, yakni 17 provinsi, 144 kota/kabupaten. Jika masing-masing daerah itu “menyetor” Rp1milyar saja, sudah ada Rp171 milyar uang pasti di tangan untuk kepentingan pileg dan pilpres.

Jumlah ini akan melonjak drastis karena mahar politik untuk maju gubernu-wakil gubernur tentu jauh lebih besar dari pilkada tingkat kabupaten/kota. Dan semakin “basah” propinsi yang disasar, tentu semakin besar pula mahar politiknya. Jadi, jika rumor ini benar, kita sudah bisa memprediksi berapa total mahar politik yang akan dikumpulkan Gerindra, PKS, Hanura dan PPP dalam Pilkada serentak 2018.

Tapi sekali lagi, ini adalah rumor. Dan yang namanya rumor bisa benar, bisa pula salah. Namun, sekalipun salah, sudah terlanjur terbangun persepsi negatif terhadap parpol Gerindra, PKS, Hanura dan PPP.

Karenanya, untuk mencegah masalah ini berlarut-larut, jangan kita biarkan kasus ini tuntas secara kompromi politik. Sudah seharusnya kasus ini didorong ke ranah hukum positif, hukum pidana sebagaimana yang disebut Mahfud MD tadi. Biar semua diusut tuntas di pengadilan. Biar terbuka, siapa yang sebenarnya pembohong, dan benarkah ada si tukang palak itu.


Sebagai warga negara Indonesia, sebagai pemilih, kita tentu tak mau memilih kandidat yang nyata-nyata maju dengan cara-cara kotor semacam mahar politik itu. Karena potensi perilaku koruptif jika kandidat itu terpilih kelak juga jauh lebih tinggi. Dan Gerindra, PKS, Hanura dan PPP, jika terbukti benar melakukan praktik mahar politik, sudah selayaknya kita hukum pada pemilu 2019 mendatang.

Tidak ada komentar