Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Skenario Keji Penyelamatan Kader Banteng dari Skandal KTP-El?


Hilangnya nama tiga kader strategis PDIP: Yasonna Laoly, Ganjar Pranowo, dan Olly Dondokambey, dari berkas dakwaan Setya Novanto membuat saya merenung. Apa lagi ini?
Ibarat ikan sudah terapung-apung di dalam jaring, mendadak ada orang kuat yang menyobek jala. Beramai-ramai kaburlah ikan-ikan besar itu. Tinggal ikan yang terbesar, megap-megap kehabisan nafas di dalam jaring—mungkin juga kena diare.
KPK membabar punya alasan kuat untuk mencabut ketiga nama itu. Strategi penyelidikan, katanya. Buat saya, ini adalah sinyal agar rakyat Indonesia waspada. Jangan-jangan KPK sudah kena intervensi penguasa.
Mari kita telisik jauh belakang agar bisa membaca lebih komprehensif. Kita akan temukan satu skenario yang mengejutkan: satu skenario keji untuk menyelamatkan ketiga kader banteng.
Pertama-tama kita harus memahami semua nama yang disebut dalam berkas dakwaan kasus KTP-El hampir pasti tidak selamat dari jerat KPK. Terlebih KPK sudah mampu menentukan berapa jumlah yang diterima masing-masing orang. Data ini mustahil serampangan, pasti lewat kajian matang.
Tetapi mereka yang disebut bukan jamaah serampangan. Mereka adalah politisi kelas atas. Jika semuanya dijaring masuk ke dalam jerat KPK, kegemparan politik pasti terjadi? Menteri, Gubernur, banyak anggota DPR diciduk paksa? Seluruh anggota DPR Komisi II masuk, pimpinan banggar, fraksi hingga pimpinan DPR diseret ke balik penjara?
Habis sudah! Imbasnya akan terjadi bongkar-membongkar kasus kolega sesama politisi. Jika 50-an orang anggota Komisi II DPR bernyanyi, bisa dibayangkan suara sumbang itu akan menyerempet ke mana-mana.
Karena itu skenario terbaik adalah operasi memberantas kanker—bunuh biangnya, dan anak-anak kanker akan mati dengan sendiri. Pihak-pihak ini bernegosiasi dengan KPK. Setnov diserahkan, tetapi aktor-aktor tertentu jangan diciduk. Kuncinya, seberapa besar perhatian publik terhadap Setnov.
Pihak-pihak ini lantas terjun. Mereka bermain cantik memanfaatkan dua hal: arogansi dan citra kesaktian Setnov. Nama Setnov yang sudah buruk di mata publik, diperburuk lagi—buruk seburuk-buruknya. Targetnya jelas, semangat rakyat yang padu bahwa Setnov harus meringkuk di tahanan.
Mula-mula mereka meyakinkan Setnov bahwa urusan ini belum final. Setnov masih bisa lolos dari lubang jarum seperti biasanya. Terlebih menimbang posisi politiknya yang luar biasa: Ketua Umum DPP Golkar yang sudah dari jauh hari mendeklarasikan Jokowi sebagai sosok yang akan diusung pada Pilpres 2019, sekaligus Ketua DPR—jabatan politis setara Presiden.
Seperti yang sudah direncanakan, strategi ini tak ampuh. Aksi sakit-sembuh Setnov malah membuat public semakin muak. Desakan publik semakin menghebat terhadap KPK. Gagal di sini, para pembisik maju dengan opsi yang lebih cadas: berlindunglah di belakang Presiden Jokowi. Nahasnya, Jokowi menafik. KPK pun langsung menetapkan Setnov sebagai tersangka.
Dan benar saja. Setnov masih arogan. Ia masih tak mau menyerah. Bagi pembisik ini adalah hal yang baik. Semakin kuat Setnov menolak, semakin menjadi-jadi protes publik. Lalu terjadinya insiden tiang listrik.
Jika insiden tiang listrik ini murni musibah, ini adalah musibah yang amat tepat untuk skenario ini. Jika ini ada strategi, maka Setnov sudah benar-benar termakan oleh para pembisiknya. Insiden tiang listrik sukses menyatukan rakyat Indonesia yang terpecah. Semuanya satu suara, menghujat Setnov.
Tetapi skenario ini belum cukup. Harus ditambah lagi agar setiap pasang mata di republik ini menyorot Setnov. Dan surat muncullah permohonan bantuan Setnov kepada Jokowi. Pernah terpikir oleh kita bahwa surat ini ibarat memo rahasia—surat ini adalah permintaan tolong sebenarnya tolong. Makanya, dalam surat itu Setnov jelas-jelas menuliskan jasa-jasa baiknya untuk pemerintah.
Pertanyaan, jika sebegitu penting surat ini, sebegitu rahasia sifatnya, mengapa bisa jatuh ke tangan jurnalis? Siapa yang menyebarkan? Dari pihak internal Setnov? Cari mati namanya! Yang paling mungkin, surat itu bocor dari istana. Atau lebih tepatnya dibocorkan, semata-mata agar citra Setnov semakin terpuruk.
Dan memang itulah yang terjadi. Sekarang ini, apapun berita tentang Setnov akan memancing emosi rakyat: mau dia diare, mau sidangnya diskor, mau puterinya tidak datang pemeriksaan—pokoknya rakyat Indonesia haus segala tentang Setnov. Dan barisan nama yang menyertai Setnov pelan-pelan terlupakan dari pengamatan publik.
Dan pelan-pelan skenario penyelamatan pun dilakukan. Dari yang paling penting: kader-kader utama the rulling party—Menhukham Yasonna Laoly, Gubernur Ganjar Pranowo, dan Gubernur Olly Dondokambey. Kalau ini tembus, yang lain akan menyusul.
Sayangnya, mereka lupa dengan berhadapan dengan siapa. Maqdir Ismail. Adalah maestro hukum di tanah air. Ia sudah merintis kantor hukum sendiri pada 1984, saat mengundurkan diri dari Adnan Buyung Nasution & Associate. Ia sering beracara di Pengadilan Tipikor Jakarta. Sehingga skenario murahan ini pasti terbaca olehnya.
Pertanyaan sekarang: siapakah para pembisik itu? Tahu sama tahu saja lah.

Pernah dimuat di politiktoday

Tidak ada komentar