Header Ads

Apa yang terucap akan lenyap, apa yang tertulis akan mengabadi

Jangan Remehkan, Papua Bukan Hanya Butuh BBM Murah dan TransPapua


Di samping isu Setya Novanto, November ini agaknya merupakan bulan Papua. Ada beberapa isu besar yang menguat di bulan ini, bahkan menjadi perhatian dunia internasional. Isu itu adalah: penyanderaan dua kampung oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), penetapan 21 November sebagai Hari Otonomi Khusus (Otsus) Papua, serta pandangan Duta Besar Inggris Moazzam Malik yang menyebut banyak pejabat tinggi dan politisi di Indonesia yang tak tertarik ketika diminta membahas tentang Papua.
Sebelumnya, Oktober 2017, terjadi kericuhan massa Papua di Kantor Kemendagri. Fasilitas negara rusak dan sejumlah orang luka-luka akibatnya. Sebulan ke belakang, Indonesia dipermalukan di depan Sidang Tahunan Majelis Tinggi PBB di New York. Amerika, serta pemimpin dari Negara Kepulauan Solomon dan Vanuatu, meminta Dewan HAM PBB untuk turun tangan terkait kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua Barat. Mereka menuding PBB tuli akan kekejaman itu.
Kesimpulan sederhana yang bisa ditarik: masalah Bumi Cenderawasih amat kompleks. Masalah Papua tidak sesederhana BBM satu harga dan jalan transpapua—yang juga masih memicu polemik: masih ada kesenjangan harga, PT. Pertamina merugi, juga fakta bahwa jalan transpapua  sudah dimulai prosesnya di era SBY.
Saya juga yakin masalah Papua tidak bisa diselesaikan dengan parade swafoto, aksi v-log, atau kuis sebutkan-5-nama berhadiah sepeda.
Pasalnya, masalah Papua adalah masalah multidimensi: ketidakadilan, ketertinggalan, kemiskinan, dan keterisolasian. Rentetan masalah ini akhirnya menyebabkan distrust, ketidakpercayaan, kepada Pemerintah Pusat. Bahkan sudah menyentuh ranah Negara Kesatuan Republik Indonesia: Papua ingin merdeka.
Kekurangpiawaian diplomasi internasional Indonesia membuat sebagian masyarakat internasional turut tersihir, lalu ikut-ikutan membela gerakan Organisasi Papua Merdeka atau nama lain yang berorientasi sama.
Lantas, apa cara terbaik untuk menyikapi masalah Papua? Pertama dan utama sekali adalah Papua harus terus menjadi agenda prioritas pemerintahan. Kedua, harus ada pengembangan berkesinambungan dalam melihat persoalan Papua, termasuk perubahan pendekatan dan terobosan pembangunannya.
Bicara perkara terobosan, ada baiknya pemerintah menyigi tiga pilar yang ditegakan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diatas pondasi yang dibangun oleh Presiden ke-4 RI KH. Abdurahman Wahid. Gus Dur ibarat tukang yang membersihkan lahan dan membangun pondasi untuk Papua baru, namanya otonomi khusus (otsus). Sementara SBY menegakan tiga pilar di atas pondasi tersebut.
Pilar pertama, keyakinan bahwa otsus adalah solusi terbaik bagi Bumi Cendrawasih. Sejak berkarir di kabinet Gus Dur hingga menjabat Presiden ke-6 RI, SBY terus bekerja keras untuk  mengotimalkan pelaksanaan otsus.
Langkah perdananya adalah membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 2004 yang dinisbatkan sebagai ‘hadiah Natal’ bagi rakyat Papua. Selanjutnya, SBY juga menerapkan pendekatan keadilan, kesejahteraan, dan pemerataan untuk tanah Papua yang paling gampang bisa dilihat dari arus anggaran pusat untuk Papua yang semakin meningkat setiap tahunnya selama pemerintahan SBY.
Tentu saja tak ada gading yang tak retak. Dan SBY mencoba membereskan kelemahan otsus ini dengan menawarkan otsus plus. Sayangnya di era pemerintah Jokowi, rumusan ini mandeg sehingga belum kunjung disahkan menjadi UU.
Kedua, komitmen untuk mengembalikan kedamaian dan perdamaian di bumi Cendrawasih. Penerapan pendekatan yang humanis, arif, dan dialogis. SBY turun langsung menyapa rakyat Papua, dan bicara dari hati ke hati. SBY menyambangi pelosok gunung dan laut Papua, sebut saja: Merauke, Jayawijaya, Yahukimo, Timika, Jayapura, Biak Numfor, Nabire, Manokwari, Teluk Wondama, Sorong dan Raja Ampat. Kepada mereka yang disapanya, tanpa ragu-ragu, SBY memohon maaf atas kesalahan kebijakan masa silam di Tanah Papua, dan terus memperbaiki kebijakan agar tepat.
SBY bahkan siap berdialog dengan perwakilan-perwakilan negara asing perihal Papua ini, termasuk berdiskusi dengan para pemimpin negara-negara Melanesia. Dengan cara ini misskomunikasi bisa diredam. Tampaknya, ini yang hilang dari pemerintahan Jokowi sehingga pemerintah Kepulauan Solomon dan Vanuatu sampai teriak di siding umum PBB, dan duta besar Inggris curhat kepada public terkait siapa yang bisa diajak diskusi perihal Papua.
Ketiga, SBY menekankan agenda percepatan pembangunan yang komprehensif dan ekstensif di Bumi Cenderawasih. Selama memimpin Indonesia, SBY melakukan langkah-langkah percepatan pembangunan untuk rakyat Papua berbasis kewilayahan. Ini bisa tergambar dalam tiga hal.
Pertama, agenda pembangunan Papua dimasukkan khusus di dalam RPJMN 2009-2014 sehingga menjadi pedoman bagi Kementerian/Lembaga di dalam mengelola pembangnan Tanah Papua. Kedua, menetapkan ‘New Deal for Papua’ yang dimasukkan lewat Inpres 5/2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat, yang kemudian dikoreksi dengan PERPRES No. 65/2011 perihal Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Ketiga, kenaikan anggaran sektoral untuk Papua dan desentralisasi fiskal dalam bentuk dana perimbangan yang terus meningkat selama masa pemerintahan SBY.
Pondasi dan tiga pilar ini yang membentuk rumah Papua baru di era pemerintahan sebelumnya. Harapan kita, di era Jokowi, pemerintah sudah bergerak untuk membangun atap rumah. Bukan malah setback dengan sibuk membongkar pilar apalagi pondasi dari rumah tersebut. Bagaimanapun yang namanya pembangunan mesti bersinambungan.

Sudah saatnya pemerintah menghentikan pencitraan BBM satu harga dan Jalan TransPapua sebagai simbol kesuksesan pembangunan di Papua. Betul keduanya penting, tetapi bukan cuma itu. Saya tidak bisa membayangkan saat OPM teriak-teriak pelanggaran HAM di dunia internasional, lalu Indonesia langsung menjawab: kami sudah bikin BBM satu harga dan bangun jalan transjakarta. Apa kata dunia?

Tidak ada komentar